REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) didesak untuk memutuskan bahwa tender proyek kilang gas PT Donggi Senoro LNG di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, tidak sehat akibat adanya kerugian sistemik dari proses tender tersebut.
Pengamat ekonomi Ichsanudin Norsy mengemukakan di Jakarta, Rabu (11/4), terdapat tiga persoalan di balik pengembangan kilang gas tersebut, yaitu persoalan tender yang belum memiliki kekuatan hukum yang pasti dan mengikat, masalah produksi serta kasus kepemilikan. "Ketiganya ini yang menyebabkan kerugian sistemik dalam proyek tersebut," katanya.
Dijelaskan, proses tender itu sejak awal sudah terlihat kecurangan yang dapat terlihat dari adanya subyektivitas pemegang saham yang mendikte sehingga tender berlangsung tidak sehat. Kendati demikian, ia meminta persoalan itu agar diserahkan sepenuhnya pada proses hukum yang sedang berjalan.
"Sudah ada bukti-bukti hukum, baik yang langsung maupun yang tidak langsung. Selanjutnya, biarkan saja pengadilan yang memutuskan," katanya.
Dikatakannya, yang harus menjadi perhatian utama adalah adanya pengabaian terhadap kepentingan nasional. Komposisi hasil produksi yang dialokasikan untuk kebutuhan domestik hanya 25 persen.
"Untuk domestik hanya 25 persen sedangkan untuk tujuan ekspor 75 persen, kenapa lebih banyak hasil produksi ditujukan untuk luar negeri," katanya.
Pembagian hasil produksi tersebut, dibandingkan dengan persentase kepemilikan saham menurut Ichsan jelas tidak adil. Kepemilikan saham Indonesia atas kilang gas Donggi Senoro adalah 41 persen dan 59 persen dimiliki asing.
"Dari segi saham saja sudah tidak fair semestinya 40 persen untuk domestik, 60 persen ekspor, bahkan sebaliknya, 60 persen yang seharusnya ditujukan untuk domestik. Dengan begitu baru mengutamakan kepentingan nasional," katanya.
Hal senada dikatakan pengamat Perminyakan DR Kurtubi yang mendesak pemerintah mengambil alih seluruh operasional kilang gas alam cair Donggi-Senoro. Desakan ini terkait dengan kerugian negara yang ditimbulkan akibat nilai investasi yang membengkak dari rencana 750 juta dollar menjadi 2,8 miliar dollar.
"Apalagi harga jual gas kepada Mitsubisi juga rendah dibandingkan dengan penawaran awal," ungkap Kurtubi.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sendiri, kata dia, telah membuktikan adanya persekongkolan oleh Mistsubishi Corporation dengan PT Pertamina, Medco Energi International dan anak usahanya Medco E & P Tomori Sulawesi.
Proyek pengembangan gas Senoro terdiri atas pembangunan kilang senilai 2,8 miliar dollar AS yang dilakukan PT DSLNG, pengeboran di Blok Senoro-Toili 600 juta dollar AS, dan Blok Matindok 275 juta dollar AS.
Sebelumnya, PT DSLNG selaku operator kilang sudah menandatangani perjanjian jual beli dengan tiga pembeli. Ketiga pembeli tersebut adalah Chubu Electric Power Inc, Jepang dengan volume 1 juta ton, Kyushu Electric Power Co Inc, Jepang sebesar 300 ribu ton per tahun dan Korea Gas Corporation (Kogas) 700 ribu ton per tahun.
KPPU pada awal Januari lalu membuktikan adanya persekongkolan oleh Mistsubishi Corporation dengan PT Pertamina, Medco Energi International dan anak usahanya Medco E & P Tomori Sulawesi.
KPPU menemukan bahwa konsorsium empat perusahaan telah bersekongkol untuk mendapatkan informasi rahasia untuk menyusun usulan kontes kecantikan.
Terhadap putusan tersebut, PT Pertamina telah mengajukan kasasi karena pihaknya keberatan dengan putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menolak keberatan mereka atas vonis KPPU tersebut.