Selasa 10 Apr 2012 18:15 WIB

Kaligis: BPK Ikut Terseret Soal Divestasi Newmont

Rep: Ahmad Reza Safitri/ Red: Dewi Mardiani
Ketua Hakim Konstitusi memimpin sidang pengujian materi undang-undang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta
Foto: Antara
Ketua Hakim Konstitusi memimpin sidang pengujian materi undang-undang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saksi ahli termohon II dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), OC Kaligis, mengatakan bahwa pertentangan kewenangan antara Presiden dengan DPR dan BPK, hanya merupakan pihak yang ikut terseret di dalam arus pertentangan politik dalam kasus divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Menurutnya, hal itu dikarenakan statusnya sebagai turut termohon (eksepsi kompetensi ablsolut).

Mahkamah Konstitusi (MK), kata dia, semestinya mengeluarkan BPK dari turut termohon atas sengketa tersebut. "Pasalnya perkara ini erat dengan pertentangan politik antara para pihak," kata dia saat memberikan keterangan dalam sidang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) dalam divestasi saham PT NNT antara Presiden dengan DPR dan BPK, di MK, Selasa (10/4).

Menurut Kaligis, jika BPK diperiksa oleh MK terkait dengan laporan hasil pemeriksaan (LHP), maka dapat membuka peluang berbagai pihak yang telah diperiksa oleh BPK untuk mengajukan hal serupa. Padahal, ujar dia, hal tersebut sangatlah bertentangan dengan amanat konstitusi.

Kaligis mengatakan bahwa status LHP BPK memiliki status yang sama dengan keputusan MK. "MK haruslah menegakkan amanat konstitusi dan tidak membuka peluang preseden buruk," ujarnya.

Karena itu, pihaknya tetap beranggapan bahwa keputusan pemerintah untuk melakukan investasi jangka panjang dalam bentuk penyertaan modal, yakni terkait pembelian saham divestasi PT NNT sebesar 7 Persen melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP), harus ditetapkan dengan peraturan pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR.

Pasalnya, jelas dia, DPR RI merupakan pemegang hak budget, baik mengenai subtansi keputusan investasi maupun penyediaan anggaran dalam APBN. Hal tersebut, dinilai Kaligis karena telah diatur dalam Pasal 24 Ayat (2) jo Ayat (7) Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. "Karena itu harus melalui persetujuan DPR," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement