REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permintaan kader Partai Demokrat untuk segera mengeluarkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari Koalisi sekretariatan gabungan (setgab) semakin tidak terbendung, setelah pada Rapat Paripurna pekan lalu PKS membelot menolak Pasal 7 ayat 6 untuk dicabut.
"Saya kira wajar kader-kader Demokrat mempertanyakan kok PKS masuk dalam koalisi tapi tidak mendukung kebijakan Pemerintah dan bahkan keluar dari jalur, tapi masalah keluar atau tidak PKS itu hak preogratif Presiden SBY, " ujar Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat, Sutan Bathoegana, di Jakarta, Senin (2/4).
Namun, Sutan mengutarakan, sangat menghormati bila PKS diluar koalisi, sehingga mampu menyuarakan suaranya di luar dari kebijakan Pemerintah.
"Kalau dikunci Pasal 7 ayat 6 itu, habislah Pemerintah itu. Kalau memang PKS mau beroposisi kita hormati, dan keluar," jelas Sutan.
Rencana Pemerintah menaikkan harga BBM merupakan kebijakan yang pahit untuk menyelamatkan perekonomian nasional, dan akan berpengaruh terhadap investor. "Bayangkan kalau investor keluar, kan yang rugi adalah Pemerintah, dan yang terkena imbasnya rakyat juga. Mana ada sih Pemerintah mau menyengsarakan rakyatnya, "ujar Sutan.
Sementara, Politisi PKS, Refrizal mengutarakan, PKS bukan sekedar memikirkan masalah kursi, akan tetapi mempertimbangkan masalah rakyat. "Kami sudah mengkaji masalah kenaikan BBM ini 18 bulan lalu, jadi bukan secara tiba-tiba menolak kenaikan BBM, "tambahnya.
Menyangkut keluar atau di dalam Koalisi Setgab, terangnya, PKS menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden, yang memiliki hak preogratif. "Kami (PKS) bukan berkoalisi dengan Partai Demokrat, tapi dengan Presiden. Kita serahkan semuanya kepada Presiden, " imbuh Refrizal.