REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat Kepolisian, Bambang Widodo Umar, menduga motif ekonomi paling berperan menjadikan oknum Polri terlibat dalam kejahatan narkoba.
"Mereka ingin mendapatkan uang dalam waktu cepat dan berlimpah, sehingga nekat melibatkan diri dalam kejahatan narkoba," ujarnya, Kamis (15/3).
Kinerja Polri diakuinya sangat dekat dengan kejahatan, khususnya aparat di lapangan. Mereka dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan langsung pelaku kejahatan narkoba seperti bertransaksi dengan uang yang banyak.
Badan Narkotika Nasional (BNN), jelas Bambang, memperkirakan harga sabu per kilogram maksimal mencapai Rp 2 miliar. Belum lagi kokain yang baru-baru ini kasusnya diungkap BNN di Bali sebanyak 600 gram lebih yang harganya lebih dari Rp 2 miliar, lebih mahal dari sabu. "Uang seperti itu sangat banyak dan tentunya kejahatan ini menggiurkan," ujarnya.
Menurut Bambang, inilah yang membuat mental aparat melemah dan akhirnya mau terlibat dalam kejahatan narkoba.
Sementara itu, Kepala Pusat Pengamanan Internal (Puspaminal) Div Propam Polri, Brigjen Budi Waseso, mengatakan keterlibatan oknum Polri dalam kejahatan narkoba sudah banyak. Namun, belum ada yang menjadi bandar atau pengelola klendestain lab narkoba. Yang paling tinggi, menurutnya, adalah menjadi pengedar dan pengonsumsi narkoba. "Aparat yang terlibat dalam peredaran narkoba mutlak dipidanakan," kata Budi.
Aparat seperti itu akan diberhentikan tidak hormat, setelah itu menjalani proses hukum mulai penyelidikan hingga mendapatkan keputusan incracht.
Pada Juni tahun lalu, BNN pernah memburu seorang desertir Densus 88, AR, di Lapas Kerobokan, Bali, namun gagal karena semua tahanan mengamuk. AR gagal menjalani proses hukum lebih lanjut. "Saya akan periksa kembali apakah AR dipecat karena kasus narkoba atau bukan," kata Budi.