Kamis 15 Mar 2012 07:54 WIB

Komisi II Minta Calon KPU dan Bawaslu "Jual Diri"

Rep: Mansyur Faqih/ Red: Hazliansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi II meminta 14 calon komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan 10 calon Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) agar melakukan pertemuan dengan sembilan fraksi yang ada di DPR. Dengan begitu, mereka dapat 'menjual' dirinya dengan lebih baik kepada para anggota DPR yang nantinya akan memilih setengah jumlah itu untuk menjadi penyelenggara pemilu 2014.

‘’Kita terbuka saja, sering saya sampaikan dari pada tidak adil. Lebih baik semua calon ketemu dengan semua fraksi. Apalagi, memang belum ada kode etik yang melarang itu untuk dilakukan,’’ kata Wakil Ketua Komisi II DPR, Hakam Naja, di gedung DPR, Jakarta, Rabu (14/3).

Hakam mengakui, memang ada beberapa calon yang sudah melakukan pendekatan, baik secara pribadi mau pun ke fraksi. Pada pendekatan itu, tegas dia, para calon hanya memberikan pemaparan terkait proses yang tengah dihadapinya. Menurutnya, pendekatan itu tidak masalah selama hanya melakukan perkenalan tanpa adanya unsure transaksi.   

Hakam menjelaskan, banyak dari calon KPU dan Bawaslu yang merasa malu dan takut untuk melakukan pendekatan. Namun, hal ini justru dianggap hanya akan merugikan calon yang bersangkutan. Pasalnya, para anggota dewan yang akan memilih jadi tidak mengenal dan mengetahui mengenai kompetensi dan kredibilitasnya.

Apalagi, jelasnya, proses uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan Komisi II mulai 19 Maret mendatang hanya selama satu jam untuk setiap calon. Sehingga, dipastikan setiap calon tidak akan maksimal dalam memberikan pemaparan.

‘’Dalam satu jam itu bisa saja mereka grogi. Karena banyak dari calon itu berasal dari daerah. Sehingga psikologinya masih belum siap,’’ papar politisi Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut. 

Karenanya, Hakam mendorong calon-calon lain yang belum melakukan pendekatan untuk jual diri. Tak hanya ke fraksi PAN, namun juga ke semua fraksi yang ada di DPR secara terbuka. ‘’Dari pada ketemu dengan tujuh orang sementara yang bagus itu ada dalam delapan orang yang tidak mau melakukan pendekatan. Kita juga yang rugi karena ini nasib politik kita selama lima tahun ke depan,’’ jelas dia.

Pendekatan ini pun dianggapnya memudahkan bagi anggota dalam menentukan pilihan. Apalagi, Hakam mengusulkan agar pemilihan ditentukan dengan sistem musyawarah. Artinya, jelas dia, setiap anggota membuka semua catatan terhadap calon dan kemudian menentukan komisioner terpilih secara musyawarah.

Cara ini diakuinya memang diprioritaskan ketimbang voting. Pasalnya, jelas Hakam, untuk dapat menyelenggarakan pemilu yang berkualitas harus dipilih komisioner KPU dan Bawaslu yang memiliki fungsi berbeda.

Setidaknya, ada empat fungsi yang harus dipenuhi. Yaitu, bidang hukum, kepemiluan, urusan teknis termasuk manajemen dan logistik, dan komunikasi yang mencakup sosialisasi dan pencegahan. Apalagi, calon yang diusulkan tim seleksi (timsel) itu telah diatur sesuai dengan bidang yang diperlukan.

‘’Timsel sudah menyampaikan kelebihan tiap-tiap calon per bidang. Jadi kotaknya sudah tersedia. Si A bagus di sini, si B bagus di sana. Orangnya ada tinggal dipilih mana yang terbaik. Jadi harus kombinasi,’’ papar dia.

Ia menilai, kombinasi keahlian ini tidak akan bisa dicapai jika menggunakan sistem voting yang justru memunculkan calon secara acak. Akan disayangkan jika kemudian komisioner yang terpilih memiliki latar belakang yang sama.

Anggota Komisi II dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga mengatakan pentingnya bagi setiap calon untuk mempromosikan dirinya ke setiap fraksi. Pasalnya, fraksi perlu yakin dan mengenal setiap calon. ‘’Ini lembaga politik dan pertemuan itu bagian dari proses politik. Saya kira itu wajar,’’ jelas dia.

Malik pun mengakui ada beberapa calon yang sudah bertemu dan mempromosikan diri. Hanya saja, jelas dia, itu dilakukan ketika proses masih berjalan di timsel. ‘’Makanya kebetulan saja memang ada dari yang ketemu dengan saya ternyata masuk dalam 14 nama itu,’’ papar dia.

Sementara itu, mantan anggota KPU 2004-2009, Chusnul Mariyah justru melarang bagi setiap calon untuk datang ke fraksi. ‘’Jadi KPU itu harus confident. Itu kalau punya integritas dan independensi. Jadi jangan transaksional,’’ ujar dia.

Chusnul menilai langkah itu membuat independensi setiap calon dipertanyakan. Adanya deal politik antara calon dan partai dinilainya sangat berbahaya. Ia pun menilai upaya itu sebagai praktik kolusi.

Sebagai solusi, ia meminta kepada Komisi II untuk membuka rekaman wawancara di timsel. Di situ bisa melihat instrument untuk melihat independensi dan kapabilitas dari setiap calon. ‘’Bisa dilihat juga apakah pertanyaan yang diajukan itu memang representative untuk melihat kapabilitas dan independensi dari calon. Kalau menurut saya, jauh lebih baik kita brantem berdebat sekarang dibandingkan 2014 anggota Komisi II menyesal,’’ cetus Chusnul.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement