Rabu 14 Mar 2012 22:58 WIB

MK Gelar Sidang Sengketa Divestasi Newmont Pemerintah vs DPR

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD (tengah) memimpin sidang uji materiil di MK.
Foto: Antara/Prasetyo Utomo
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD (tengah) memimpin sidang uji materiil di MK.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) yang diajukan Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Keuangan sebagai wakil pemerintah terhadap DPR dan BPK. Sengketa itu berkaitan dengan pembelian saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) Tahun 2010 sebesar 7 persen.

"Pelaksanaan investasi yang dilakukan oleh Menteri Keuangan yang telah didasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan merupakan kewenangan konstitusional Pemerintah yang dilaksanakan Menteri Keuangan," kata Menkeu Agus DW Martowardojo, saat sidang di MK, Jakarta, Rabu (14/3).

Menurut Menkeu, divestasi pembelian saham Newmont itu sifatnya non permanen sehingga tidak memerlukan ijin DPR. Aturan itu tersebut telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Menkeu mengatakan bahwa ada dua jenis investasi yakni Jangka panjang non permanen dan penyertaan modal negara. "Bila pernyertaan modal itu baru harus persetujuan DPR, tapi kalau investasi non permanen itu tidak perlu ijin DPR, ini dijamin UU No. 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan," katanya di depan majelis hakim yang dipimpin Mahfud MD.

Menanggapi permohonan ini, Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Aziz mengatakan kewenangan yang diatur dalam Pasal 24 ayat (7) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara terkait pembelian 7 persen saham divestasi NNT harus melalui persetujuan DPR sudah tepat. Menurut dia, pembelian 7 persen saham divestasi itu terkait dengan tindakan pemerintah dalam pengelolaan aset negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.

"Ini masuk lingkup kewenangan DPR seperti diatur dalam Pasal 23 ayat (3) UUD 1945 yang menyangkut keuangan negara, tidak terkait dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945," katanya.

Harry juga menegaskan bahwa DPR tidak keliru menafsirkan makna "persetujuan" dalam Pasal 24 ayat (7) UU Keuangan Negara yang menyatakan dalam keadaan tertentu untuk penyelamatan perekonomian nasional pemerintah pusat dapat memberikan pinjaman dan atau penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR.

"Ketentuan ini harus dipahami hanya dalam keadaan tertentu itu pemerintah pusat dapat memberikan pinjaman dan atau penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR," kata Harry.

Dia menilai pemerintah telah membuat penafsiran keliru atas makna Pasal 24 ayat (7) UU Keuangan Negara yang menyatakan pembelian 7 persen saham divestasi tidak perlu persetujuan DPR karena dilakukan dalam keadaan normal, bukan dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional.

"Keputusan itu bukanlah semata-mata merupakan keputusan eksekutif, melainkan harus melibatkan seluruh rakyat melalui wakilnya di DPR, sehingga tidak ada kewenangan konstitusional pemohon yang dikurangi, diambil, dihalangi," tegasnya.

Sementara Staf Ahli BPK Zindar Kar Marbun berpendapat jika permohonan SKLN ini dikabulkan akan menimbulkan beberapa konsekuensi yaitu terlanggarnya kewenangan konstitusional BPK dalam melaksanakan pemeriksaan. Pasalnya, laporan hasil pemeriksaan BPK atas proses pembelian 7 persen saham divestasi PT NTT dianggap melanggar kewenangan konstitusional pemerintah.

"Hilangnya fungsi check and balances antara pemohon, DPR, dan BPK dalam sistem pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara karena dianulirnya LHP BPK, hilangnya kepercayaan masyarakat kepada BPK, dan LHP BPK berpotensi menjadi objek SKLN," kata Marbun.

Seperti diketahui, presiden lewat Menkumham dan Menkeu mengajukan permohonan SKLN dengan termohon I DPR dan BPK sebagai termohon II. Pemerintah mempersoalkan klaim DPR terkait pembelian divestasi 7 persen saham NNT oleh pemerintah yang harus melalui persetujuan DPR.

Dalam laporan hasil audit pemeriksaannya, BPK juga berpendapat keputusan pemerintah untuk investasi jangka panjang dalam bentuk penyertaan modal pemerintah di NNT harus ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah setelah mendapatkan persetujuan DPR.

Namun, pemerintah tidak menindaklanjuti laporan hasil pemeriksaan BPK ini sesuai yang diamanatkan Pasal 23 ayat (3) UUD 1945. Pemohon menilai kewenangan konstitusionalnya telah diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dalam hal pengelolaan keuangan negara.

Menurut pemerintah, investasi atas pembelian 7 persen saham PT NNT yang dilepas itu ditujukan untuk memberikan manfaat yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia sesuai tujuan bernegara.

Karena itu, pemohon meminta MK menyatakan pemohon memiliki kewenangan konstitusional sesuai Pasal 4 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 23C, dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berupa pembelian 7 persen divestasi PT NNT tanpa memerlukan persetujuan DPR. Kesimpulan hasil pemeriksaan BPK itu yang sebelumnya harus mendapatkan persetujuan DPR melampaui kewenangan konstitusional BPK.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement