REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) melaporkan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur yang memenangkan gugatan tujuh terpidana kasus korupsi atas Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang Pembebasan Bersyarat yang belum Dilaksanakan.
KMS yang terdiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW), Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), dan Indonesia Legal Roundtable (ILR) melaporkan temuan pelanggaran kode etik hakim kepada Komisi Yudisial (KY), Rabu (14/3).
Koordinator MTI Jamil Mubarok, mengatakan pihaknya menemukan setidaknya 13 persoalan mendasar dalam putusan tersebut yang disambut sorak-sorai para koruptor tersebut. Salah satu titik paling penting yang gagal dipertimbangkan hakim atau mungkin diabaikan adalah klasifikasi pembedaan penggugat berdasarkan jadwal pembebasan bersyarat.
Hal ini berkonsekuensi serius pada pertimbangan apakah SK Menkumham itu berlaku surut atau tidak. Selain itu, katanya, hakim gagal mencermati objek gugatan, yakni tiga SK Menkumham yang membatalkan tujuh pembebasan bersyarat napi korupsi. "Hakim tidak cermat dalam menilai diktum yang secara tegas menyatakan SK berlaku ketika sudah dilaksanakan," kata Jamil di gedung KY.
Menurut dia, tidak benar jika dikatakan SK Pembebasan Bersyarat sudah berlaku sejak diterbitkan. Hal ini merupakan sesuatu yang serius dan punya efek domino terhadap pertimbangan lain. Dia menilai, putusan hakim PTUN, baik aspek substansi hukum, prosedur atau logika melompat (jumping conclusion) antara pertimbangan hukum dan putusan hakim.
Atas dasar itu, Jamil menuding adanya dugaan ketidakprofesionalan hakim mengemuka dalam kajian yang dilakukan KMS. "Jadi, pengadilan membatalkan kebijakan pengetatan remisi merupakan pernyataan tidak berdasar dan patut dicurigai karena tidak memahami persoalan," cetus Jamil.
Komisioner KY bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Suparman Marzuki menyatakan, belum bisa bersikap terkait temuan KMS tentang dugaan pelanggaran kode etik hakim PTUN. Karena itu, pihaknya melakukan telaah atas laporan yang diserahkan tersebut terlebih dahulu sebelum melakukan langkah lanjutan. Kalau ditemukan adanya pelanggaran oleh hakim, pihaknya bakal memanggil pelapor.
Bahkan, sebut Marzuki, sangat terbuka bagi KY meminta keterangan para ahli untuk menilai kinerja hakim PTUN. "Kalau ada pelanggaran kode etik maka berujung pada pemeriksaan hakim itu oleh KY," kata Suparman.
Pada 6 Maret lalu, majelis hakim PTUN mengabulkan permohonan Yusril Ihza Mahendra, selaku kuasa hukum tujuh napi korupsi yang batal bebas akibat SK Menkumham tentang Pencabutan Pembebasan Bersyarat. Tujuh orang itu adalah Ahmad Hafiz Zawawi, Bobby Satrio Hardiwibowo, Mulyono Subroto, Hesti Andi Tjahyanto, Agus Wijayanto Legowo, Ibrahim, dan Hengky Baramuli.