REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan aliran dana korupsi Wisma Atlet SEA Games yang dilakukan oleh M Nazaruddin, mengalir ke sejumlah perusahaan negara (BUMN) selain PT Garuda Indonesia. Perusahaan-perusahaan itu bisa terkena tindakan hukum akibat ikut menampung dana yang ditengarai merupakan hasil tindak pidana pencucian uang korupsi.
Menurut pakar tindak pidana pencucian uang Universitas Trisakti, Yenti Garnasih, perusahaan negara yang menjual sahamnya ke Nazaruddin, seharusnya patut menduga bahwa uang pembelian itu berasal dari tindak pidana korupsi. Berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), pembelian saham di atas Rp 500 juta wajib dilaporkan ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
"Jadi perusahaan itu bukan berarti aman-aman saja. Mereka harus punya kecurigaan, mungkin tidak Nazaruddin memiliki uang sebanyak itu untuk membeli saham. Nah waktu dulu menerima uang Nazaruddin atau saat transaksi, mereka lapor tidak tuh ke PPATK," kata Yenti saat dihubungi, Ahad (4/3).
Menurutnya, kalau perusahaan itu, dalam menjual sahamnya menggunakan underlying (perusahaan penjamin emisi/sekuritas), seperti dalam penjualan saham PT Garuda Indonesia ke Nazaruddin, maka perusahaan itu bersifat sebagai penerima aliran dana TPPU pasif. Harus dilihat apakah dalam penjualan itu, ada permainan antara perusahaan dengan sekuritas.
Oleh karena itu, untuk mengungkap kasus ini, Yenti mengatakan KPK harus mencari memeriksa pihak perusahaan negara yang menampung uang Nazaruddin itu. Tidak hanya sekedar memeriksa pihak sekuritas selau perantara pembelian saham tersebut. "Ya KPK harus memeriksa semuanya," kata Yenti.