REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil ketua KPK Busro Muqoddas mengatakan indirect cost untuk penyelenggaraan ibadah haji berpotensi terjadi penyelewengan.
Penggunaan indirect cost selalu meningkat setiap tahun. Pada 2012, direncanakan penggunaan indirect cost sebesar Rp 1,6 triliun, naik dari Rp 1,2 triliun pada tahun sebelumnya. ‘’Indirect cost tidak pernah diinformasikan besaran dan peruntukannya secara transparan ke publiK. Juga tidak ditetapkan dengan aturan hukum sehingga rawan penyelewengan,’’ ujarnya.
Pada 2011, jumlah indirect cost yang digunakan untuk petugas haji dan operasional penyelenggara ibadah haji Rp 396.562.330.079. hampir dua kali lipat dibanding APBN ditjen PHU pada tahun yang sama yang sebesar Rp 200.994.682.000. dengan kata lain, setiap jamaah haji Indonesia membiayai petugas haji dan biaya operasional sebesar Rp 1.888.392.
‘’Ini merupakan penyalahgunaan peruntukan indirect cost BPIH. Selain itu, tidak ada bagian dari indirect cost yang dikembalikan kepada jamaah calon haji dalam bentuk pengurangan BPIH,’’ papar dia.
Sementara itu, Abdul Hakim dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjelaskan, perhatian utama dari pelaksanaan haji terkait dengan pengelolaan keuangan. Masih banyak sektor yang punya potensi kerawanan dan tidak didukung peraturan pemerintah serta peraturan menteri.
‘’Undang-undang yang sekarang ada memberi otoritas sedemikian rupa untuk menteri agama. Tidak ada penjabaran lebih lanjut seperti apa. Semacam memberi blanko kosong menteri untuk membuat peraturan sendiri,’’ ujar dia.
Begitu juga dengan pasal yang mengatur BPIH harus masuk ke rekening menteri. Ia menilai tidak ada regulasi yang dapat mempertanggungjawabkan hal ini sehingga menjadi penyimpangan terbuka. ‘’Karena wating list-nya panjang, bunga yang jadi indirect cost tidak dapat dinikmati jamaah yang berhak. Ini dari sisi keperdataan salah,’’ ungkap Hakim.