REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Indonesia akan berada dalam kekacauan jika Iran melakukan penutupan Selat Hormuz. Demikian dikatakan oleh pengamat energi, Ryad Areshman Chairil.
"Selat ini penting dalam rantai distribusi minyak, bukan hanya untuk Indonesia, melainkan dunia. Di negara ini, 60 persen migas yang dikelola Kilang Cilacap berasal dari Iran," kata Ryad dalam diskusi "Mengkaji Alternatif Kebijkan BBM: Tambah Subsidi, Pembatasan, atau Kenaikan Harga" di Jakarta, Kamis (9/2).
Dalam konteks ekonomi politik energi internasional, 20 persen atau sekitar 17 juta barel pasokan minyak per hari dari berbagai negara di Timur Tengah harus melewati Selat Hormuz.
Beberapa hari terakhir Iran dikhawatirkan dunia internasional akan menutup Selat Hormuz, sebagai reaksi atas sanksi negara-negara Barat terhadap Iran terkait dengan pengembangan teknologi nuklir.
Sanksi tersebut, kata dia, meliputi pengurangan impor terhadap minyak Iran dan pelarangan transaksi keuangan dengan negara tersebut. "Kilang Cilacap yang sangat penting di Indonesia bergantung dari minyak Iran. Jika suplai dari negara itu ditutup, ketersediaan minyak dalam negeri akan sangat terbatas," papar Ryad.
Kilang minyak di Cilacap saat ini menyediakan 44 persen kebutuhan energi nasional dan 75 persen khusus di Pulau Jawa. Skenario terburuk yang bisa dibayangkan oleh Ryad adalah kosongnya ketersediaan BBM yang membuat ekonomi nasional macet, mobil-mobil yang tidak bisa berjalan, dan listrik yang terus-menerus mati. "Tidak ada jalan keluar yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam persoalan ini, karena Selat Hormuz berada di luar kekuasaan Indonesia," ujarnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Anggito Abimanyu, dalam diskusi yang sama mengatakan dampak dari ditutupnya Selat Hormuz tidak hanya dirasakan di Indonesia, tetapi juga di seluruh negara. "Oleh karena itu, pasti akan ada solusi internasional atas persoalan ini. Jadi, kita tidak perlu khawatir," kata Anggito.