REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana kembali menegaskan, kebijakan pengetatan pemberian remisi bagi terpidana yang dikeluarkan Kemenkumham tidak melanggar hak asasi manusia dan perundang-undangan.
"Kebijakan pengetatan tidak melanggar UU No 39 Tahun 1999 soal HAM. Saya baru tahu kalau koruptor memiliki standar HAM yang lebih tinggi, sementara tidak ada perdebatan soal HAM untuk teroris," kata Denny saat menjadi pembicara kunci acara seminar "Melenyapkan Korupsi di Bumi Indonesia: Stop Regenerasi Koruptor", di Kampus Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, Selasa.
Menurut dia, kebijakan pengetatan remisi diambil untuk memperketat syarat pemberian hak-hak napi dan bukan menghilangkan sama sekali hak tersebut. Hal itu dibuktikan dengan hak pembebasan bersyarat kepada Agus Condro, terpidana korupsi kasus cek pelawat dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur BI 2004.
"Kalau Kemenkumham mengeluarkan kebijakan menghilangkan remisi sama sekali, maka hal tersebut melanggar UU," kata Denny. Denny mengatakan, sejak 2006 pengetatan sudah dilakukan oleh Kemenkumham dan pengetatan ini tidak menghilangkan hak-hak bagi narapidana.
Ia juga menilai kebijakan pengetatan remisi sejalan dengan UNCAC Tahun 2003. Dalam pasal 30 ayat 5 disebutkan, negara wajib mempertimbangkan berat-ringannya kejahatan yang bersangkutan. "Kebijakan pengetatan remisi juga tidak berlaku retroaktif (surut). Ke depan, kita tidak akan memberikan kebebasan bersyarat secara obral. Obral no, pengetatan yes...," ujar Denny.
Ia menambahkan, kejahatan korupsi adalah kejahatan luar biasa, karena tidak hanya merugikan keuangan negara, sehingga cara menanganinya harus dengan cara "extra ordinary".