Sabtu 07 Jan 2012 15:30 WIB

Polisi Dinilai Miliki Masalah Sistemik Saat Terapkan Hukum Anak

Rep: S Bowo Pribadi/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Kekerasan oleh polisi, ilustrasi
Foto: RawStory
Kekerasan oleh polisi, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Aparat penegak hukum dinilai tidak melihat kepentingan terbaik dalam melakukan penegakan hukum terhadap anak. Hal ini karena aparat tidak memiliki sensifitas dan semangat keadilan --yang semestinya—harus dituju selain hukum formal.

“Berulangnya pelanggaran terhadap prinsip perlindungan terhadap anak yang tersangkut hukum menjadi bukti,” ujar Wakil Ketua Komisi Perlindungan anak Indonesia (KPAI), Dr Asrorum Ni’am Sholeh, kepada Republika, Sabtu (7/1).

Persoalan hukum AAL (15) yang divonis bersalah akibat mencuri sandal polisi di Palu, jelasnya, masih hangat diperbincangkan. Belakangan muncul kasus DW (14) yang juga menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar.

Siswa kelas 1 SMP di Denpasar ini didakwa bersalah akibat berupaya mencuri tas berisi uang Rp 1.000. Iapun kini tengah menunggu tuntutan maksimal ujuh tahun penjara dari majelis hakim, setelah sebelumnya sudah merasakan pengapnya ruang tahanan.

Kejadian berulang, oleh aparat pebegak hukum, waktu dan tempat yang berbeda menunjukkan kejadian ini bukan kasuistik. Ia juga melihat ini bukan sekedar pelanggaran prosedur oleh oknum aparat penegak hukum.

Penghukuman terhadap oknum pelaku tidak cukup menyelesaikan masalah. “Fakta ini menegaskan adanya problem sistemik pembinaan dan pemberian pemahaman terhadap perspektif perlindungan anak yang belum utuh,” tegas Asrorum.

KPAI, lanjutnya, melihat ada problem kelembagaan yang harus segera direformasi di lingkungan penegak hukum, khususnya polisi. “Saatnya kapolri melakukan evaluasi total reformasi kepolisian yang sensitif terhadap perlindungan anak,” tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement