Jumat 30 Dec 2011 13:03 WIB

Hak Menyatakan Pendapat Soal Century, PPP Bersikap Netral

Ketua DPP PPP, Lukman Hakim Saefuddin
Ketua DPP PPP, Lukman Hakim Saefuddin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPR RI bersikap netral terkait wacana penggunaan hak menyatakan pendapat tentang kasus Bank Century. "Fraksi PPP tidak berdiri pada posisi mendukung atau menolak," kata anggota DPR RI dari Fraksi PPP, Lukman Hakim Saefuddin di Jakarta, Jumat (30/12).

Bagi Fraksi PPP, kata Wakil Ketua MPR RI itu, masalah Bank Century sebaiknya diserahkan kepada penegak hukum sebagaimana yang direkomendasikan DPR RI melalui rapat paripurna DPR pada 3 Maret 2010 lalu.

"Fraksi PPP telah memilih opsi C sehingga kasus Bank Century ditindaklanjuti oleh penegak hukum seperti KPK, Kepolisian atau Kejaksaan Agung. Fraksi PPP mendorong agar kasus Bank Century diproses secara hukum. Bukan dengan menggulirkan hak menyatakan pendapat," kata Lukman.

Ia menyebutkan, penggunaan hak menyatakan pendapat juga tidak tepat, apalagi kalau untuk pemakzulan terhadap presiden dan wakilnya. "Tidak tepat karena proses hukum belum selesai dan perlu ada keputusan Mahkamah Kopnstitusi dan persetujuan MPR RI. Jadi terlalu jauh bila menggunakan hak menyatakan pendapat," kata Wakil Ketua Umum DPP PPP itu.

Ia menyebutkan, saat ini PPP tengah mendalami hasil audit lanjutan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diminta oleh Tim Pengawas Century DPR RI. Terkait hasil audit lanjutan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang telah diserahkan pada 23 Desember 2011, Fraksi PPP sedang mendalami hasil audit tersebut.

"Akan ada klarifikasi khusus dan Fraksi PPP akan mengundang BPK dan para pakar sebab ada beberapa temuan seperti adanya aliran dana pada laporan BPK pada saat ada Pansus Century, tiba-tiba hilang. Ini yang perlu diklarifikasi. Tapi sangat tidak etis mengumumkannya, sementara kita mendalami," tutur Lukman.

Anggota Komisi III DPR RI, Ahmad Yani mengatakan, pengajuan hak menyatakan pendapat bukan soal sia-sia atau tidak. "Tapi karena UUD-nya seperti itu (amenden UUD 1945) yang bertujuan penguatan sistem presidensial. Bisa dijalankan tapi apakah sudah terbukti ada pelanggaran oleh KPK, Kepolisian dan Kejaksaan Agung," kata Yani.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement