REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Hakim Agung, Salman Luthan, menuding DPR sebagai pihak yang harus bertanggungjawab atas buruknya hubungan Mahkamah Agung (MA) dengan Komisi Yudisial (KY). ''Karena dalam legistisi hasil buatan DPR, itu tidak menempatkan secara jelas jenis kelamin KY,'' tuding Salman.
Meski KY memiliki kewenangan pengawasan terhadap hakim seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 juncto UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY, namun hal itu tidak menyelesaikan masalah. Karena, posisi KY dalam menjatuhkan sangsi terhadap hakim bermasalah tidak tertuang secara jelas dalam Pasal 22 UU KY.
Satu pasal menyatakan KY bisa menjatuhkan sanksi. Tapi, pasal lainnya menyebut usulan KY tidak bersifat mengikat.
Pihaknya khawatir bakal muncul konflik baru lebih besar antara KY dengan MA. Alih-alih membuat hubungan dua lembaga negara itu harmonis, yang terjadi malah kesenjangan kewenangan KY dengan MA semakin terlihat jurangnya. Hal itu mengingat MA memiliki aturan sendiri dan mekanisme pengawasan internal terhadap sekitar tujuh ribu hakim se-Indonesia.
Sehingga sangat mungkin jika ada temuan hakim nakal oleh KY, rekomendasi yang dijatuhkan itu diabaikan MA. Pasalnya, MA memiliki justifikasi kuat menilai KY sebenarnya tidak memiliki kewenangan mengawasi lembaganya.
''Karena itu, tidak aneh para hakim agung maupun hakim di daerah semakin alergi dengan pengawasan KY. Jika ini yang terjadi, tidak aneh KY tak percaya terhadap MA. Begitu juga sebaliknya,'' kata Salman. ''Itu kondisi riil. Yang dirugikan dalam memburuknya hubungan ini bukan dua lembaga sebenarnya, tapi bangsa.''