REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pasal pembubaran Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dalam draft RUU Ormas belum tentu menjadi solusi merehabilitasi Ormas yang dinilai brutal. Pembubaran perlu didukung oleh pemberdayaan dan proses rehabilitasi sosial agar individu yang terlibat dalam keanggotaan Ormas brutal dapat meninggalkan kebiasaannya berbuat rusuh.
Dalam Bab XVIII tentang sanksi pada pasal 52 dicantumkan bahwa pembubaran Ormas yang dinilai brutal dilakukan bertahap. Setelah tiga kali mendapatkan teguran tertulis, pemerintah daerah atau pemerintah pusat melalui kementerian dalam negeri dapat menjatuhkan sanksi pembekuan paling lama 90 hari.
Pemerintah kemudian mengajukan proses pembekuan ke pengadilan negeri atau Mahkamah Agung (MA) untuk diproses. Jika Ormas yang sudah dibekukan tetap melakukan tindakan brutal: menebar ancaman, merusak fasilitas umum, melakukan penganiayaan hingga korban terluka, bahkan meninggal dunia, maka pemerintah berkewajiban untuk mengajukan proses pembubaran Ormas ke pengadilan negeri untuk Ormas kabupaten atau kota dan MA untuk Ormas tingkat nasional.
Pasal 53 kemudian menyebutkan bahwa pemerintah baru dapat melakukan pembubaran setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap. "Pembubaran saja tidak cukup," jelas Ketua Moderate Muslim Society (MMC), Zuhaeri Misrawi, saat dihubungi, Rabu (9/11).
Sebabnya, anggota Ormas yang seperti itu masih bisa mendirikan Ormas baru dengan nama dan lambang berbeda, namun tetap melakukan tindakan brutal. Individu-individu ormas seperti itu tetap akan mengindoktrinasi masyarakat untuk mengikuti program yang dibuat sehingga tindakan brutal dianggap benar.
Akhirnya tindakan brutal akan tetap ada meskipun dengan nama Ormas yang berbeda. Masyarakat pun tidak dapat berbuat apa-apa, karena sudah didoktrin anggota ormas seperti itu. Kemungkinan lainnya, masyarakat tidak dapat melarang karena diancam sehingga ketakutan menyebar.
Zuhaeri menyatakan yang tidak kalah pentingnya adalah program rehabilitasi sosial. Setelah Ormas dibubarkan, anggotanya harus diarahkan untuk bersosialisasi dan meninggalkan paham brutal yang ada di benaknya. Bahkan, menurut Zuhaeri, mereka harus dijadikan figur masyarakat yang anti-kebrutalan.
Proses seperti ini dinilainya tidak hanya bersifat represif namun juga persuasif, karena mampu merubah psikologi seseorang. "Efek jera akan terasah," paparnya. Yang timbul setelah menjalani proses hukum dan rehabilitasi sosial adalah perasaan dan keinginan untuk memusuhi tindakan brutal yang dilakukan secara terorganisir dengan wadah Ormas.
Menurutnya, tindakan pembubaran dipadukan dengan rehabilitasi sosial akan memudahkan aparat penegak hukum dalam menindak Ormas brutal. Mantan anggota Ormas brutal, selain menjadi figur anti tindakan brutal, juga menjadi informan bagi aparat untuk mengetahui bagaimana Ormas brutal berdiri dan bertindak.
Aparat nantinya akan mampu menindak Ormas brutal dengan tegas. "Selama ini aparat kebanyakan hanya menonton aksi brutal terjadi. Mereka tidak bisa melakukan apa-apa," jelas Zuhaeri.