REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Aparat kepolisian diminta tidak mengintervensi dan menghalang-halangi aksi mogok kerja yang dilakukan oleh para karyawan PT.Freeport Indonesia karena aksi buruh tersebut dijamin konstitusi.
"Tindakan kepolisian yang sangat berlebihan dalam menangani aksi mogok buruh merupakan tindakan yang "over treatment" dan cenderung menghalangi hak buruh untuk melakukan mogok kerja," kata Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Palma di Jakarta, Senin (31/10).
Menurut Alvon, kepolisian yang seharusnya menjaga keamanan cenderung represif dan menjadi menjadi tameng pemilik modal PT. Freeport. Upaya itu demi meredam aksi mogok kerja yang dilakukan karyawan PT. Freeport dengan surat terbaru yang dikeluarkan oleh Polres Mimika yang mengimbau agar proses mogok kerja tersebut dihentikan.
Bahkan, kata Alvon, ada proses stigmanisasi makar oleh aparat keamanan terhadap para pekerja yang melakukan mogok kerja. Pernyataan itu disampaikan dalam jumpa pers untuk menyatakan sikap terhadap konflik Freeport bersama Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan perwakilan dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) PT. Freeport di kantor YLBHI, Jakarta.
"Oleh karena itu, kami mengecam tindakan PT.Freeport yang menjadikan kepolisian sebagai tameng perusahaan untuk membungkam suara buruh," kata Alvon.
Permasalahan utama pemogokan kerja adalah pemenuhan kesejahteraan para buruh dengan mengubah Perjanjian Kerja Bersama yang di dalamnya termasuk persoalan bagaimana meningkatkan upah bagi para pekerja di PT. Freepor, kata Alvon.
Pasal 25 Undang-Undang nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh menyatakan dengan jelas serikat buruh berhak membuat Perjanjian Kerja Bersama dengan pengusaha. Kemudian pasal 27 menyebutkan bahwa serikat buruh berkewajiban melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak-hak dan memperjuangkan kepentingannya, serta memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya.
Menurut Alvon, keuntungan yang diperoleh oleh pihak perusahaan itu sangat tinggi sementara pengembalian keuntungan kepada para buruhnya sangat kecil. Oleh sebab itu sangat wajar sekali apabila para buruh meminta upah yang lebih jika dibandingkan dengan upah buruh dari perusahaan sejenis di luar negeri.
Dalam kesempatan yang sama, Perwakilan dari SPSI PT. Freeport, Tri Puspital mengatakan target dari PKB yang ke-17 tersebut adalah penyesuaian upah pekerja.
"Ibaratnya itu kami pemain Manchester United, tapi kami dibayar seperti pemain LSI," kata Tri, yang juga Pengurus Unit Kerja SPSI PT. Freeport.
Menurut Tri, pekerja di PT. Freeport Indonesia dituntut bekerja dengan skill (ketrampilan) setara dengan pekerja Freeport yang ada di luar negeri. Tapi sayangnya upah dan kesejahteraan mereka dibayar berdasarkan tarif lokal.
"Anggap saja menagih janji hutang. Dari ke-16 PKB 32 tahun yang lalu, PKB yang ke-17 inilah merupakan waktu yang tepat buat kami untuk mengangkat harkat dan martabat pekerja khususnya yang ada di Papua maupun di Indonesia," kata Tri.
SPSI PT. Freeport menuntut kenaikan upah menjadi 7,5 dolar AS per jam dari tuntutan awal yaitu 43 dolar AS per jam bagi sekitar 22.000 karyawan PT.Freeport di Papua.
Selain itu, Tri mengaku adanya sejumlah intervensi dan ancaman yang dilakukan oleh aparat kepolisian setempat yang ditujukan untuk mengalihkan isu dan menghentikan upaya mogok kerja yang mereka lalukan.
Para pekerja PT. Freeport pernah dituduh sebagai para pengikut dari JII (Jamaah Islamiah Indonesia) oleh para aparat, kata Tri.
Selain itu pernah ada penembakan oleh orang tidak dikenal secara tidak langsung yang diarahkan ke sebelah rumah Ketua SPSI PT. Freeport Sudiro di Timika untuk meredam aksi pemogokan kerja para karyawan PT. Freeport, kata Tri.
Saat ini, karyawan PT. Freeport telah memasuki hari ke-47 dalam aksi mogok kerjanya dan tidak menerima gaji dari perusahaan karena aksi mereka dianggap tidak mempunyai izin.
Para pekerja PT. Freeport dan anggota keluarganya beserta masyarakat adat yang ada di sekitar lokasi penambangan PT. Freeport dilaporkan berkumpul di MilE 28 untuk melakukan aksi mogok kerja menuntut perbaikan kesejahteran.
Koordinator Kontras Haris Azhar mengimbau pemerintah untuk bisa memfasilitasi kedua pihak dan juga untuk mengadakan audit keuangan terhadap PT. Freeport Indonesia.
Audit bisa dilakukan melalui tim kepresidenan, atau dengan dibentuknya Pansus oleh DPR agar ada tindak lanjut yang serius terhadap konflik di tanah Papua tersebut, kata Hariz.
Sebelumnya, Polres Mimika, Papua, memberikan ultimatum kepada Pengurus Unit Kerja Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PUK SPSI) PT Freeport Indonesia untuk tidak menggelar aksi mogok di Check Point 1 Mile 28, Mil 27 dan Gorong-gorong Timika.
Ultimatum yang disampaikan Kapolres Mimika AKBP Deny Edward Siregar dalam surat resmi tanggal 30 Oktober 2011 yang ditujukan kepada PUK SP-KEP SPSI PT Freeport Indonesia itu juga disertai permintaan untuk segera membuka akses jalan yang ditutup pendemo.