REPUBLIKA.CO.ID, SOLO – Forum Penyiaran Solo Raya (FPSR) bersama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Surakarta menggelar seminar nasional 'Membangun Etika Penyiaran di Udara' di Rumah Makan Omah Sinten, Sabtu (29/10).
Tiga pembicara—Zainal Abidin Petir (KPID Jateng), Tias Anggoro (Dewan Pengawas RRI) dan Prof Dr Andrik Purwasito DEA (Manajemen Komunikasi Fisipol UNS)—menguak seputar praktik carut-marut dunia kepenyiaran.
''Lembaga penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik wajib tunduk pada peraturan perundangan dan kode etik jurnalistik,'' kata Andrik.
Menurut Andrik, dalam menyajikan informasi program faktual, lembaga penyiaran wajib mengindahkan prinsip jurnalistik. Harus akurat, adil, berimbang, tidak berpihak, tidak beritikad buruk, tidak mencampurkan opini pribadi, tidak menonjolkan unsur kekerasan, tidak mempertentangkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan), tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
"Lembaga penyiaran dilarang keras menyajikan program dan isi siaran yang merendahkan SARA. Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) merupakan pedoman menyusun isi siaran. Ini erat berkaitan dengan penghormatan nilai-nilai agama, norma kesopanan dan kesusilaan," jelas Andrik.
Zainal Abidin Petir menambahkan, isi siaran, baik radio dan televisi harus sesuai dengan asas, tujuan, fungsi dan arah siaran. Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.
Juga wajib memberi perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak. Khususnya, anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu tepat. "Dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai isi siaran. Serta wajib menjaga netralitas dan tak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu," papar Zainal.
Dalam siaran iklan, lanjut Zainal, lembaga penyiaran wajib berpedoman pada Etika Pariwara Indonesia (EPI). Seperti, iklan tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif, kata 100 persen murni, asli, kecuali ada bukti tertulis dari otoritas terkait. Kata halal tidak untuk diiklankan, tapi hanya ditampilkan berupa label pangan.
Iklan yang menampilkan waktu tenggang harus mengungkapkan memadainya rentang waktu. Testimoni maupun anjuran hanya dapat dilakukan atas nama perorangan, bukan mewakili kelompok, golongan atau masyarakat luas. Iklan obat tidak boleh menjanjikan penyembuhan, melainkan hanya untuk membantu menghilangkan gejala suatu penyakit. Dan, iklan obat tidak boleh melibatkan profesi dokter, perawat, farmasis, maupun yang berkonotasi profesi kesehatan.