REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kementrian Dalam Negeri dipandang ICW keliru menafsirkan dasar hukum e-KTP karena dasar pemerintah menerapkan pasal 101 huruf b UU nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan sebagai dasar pelaksanaan proyek e-KTP juga sebuah kekeliruan.
Padahal dalam pasal tersebut tidak disinggung sedikitpun soal penerapan e-KTP. "Yang ditarget UU itu Nomor Induk Kependudukan (NIK) bukan e-KTP-nya," ujarnya dan menambahkan bahwa yang perlu dibenahi terlebih dahulu database Nomor Induk Kependudukan," ujar koordinator ICW, Danang Widoyoko.
Persoalan akan kembali muncul ketika e-KTP itu sudah jadi. Masyarakat pemilik e-KTP tak otomatis bisa dengan mudah membuat rekening bank, paspor, atau kartu layanan lain karena penerbitan e-KTP tak berbasis data NIK.
"Kalaupun bisa, berarti instansi penyedia kartu layanan itu harus memiliki e-KTP Reader. Ini justru semakin merepotkan," jelasnya.
Divisi Investigasi ICW, Tama S Langkun, merekomendasikan mulai saat ini Kemdagri harus membangun sistem SAK, SIAK, dan NIK berdasarkan platform e-government.
Tak hanya itu, Kemdagri juga harus sudah memberikan NIK kepada 238 juta penduduk Indonesia serta mengevaluasi proyek e-KTP berdasarkan target pencapaian yang tercantum dalam UU Administrasi Kependudukan.
"Proyek e-KTP jangan terlalu dipaksakan selesai pada 2012 karena UU-nya tak menuntut itu. Yang justru dituntut UU adalah penyelesaikan pemberian NIK pada akhir 2011 ini," kata Tama.