REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Undang - Undang Penyelenggara Pemilu UU No. 22 Tahun 2007 akan diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (10/10) oleh Aliansi Masyarakat Selamatkan Pemilu (Amankan Pemilu). Pernyataan tersebut dikatakan oleh sejumlah aktivis yang tergabung dalam aliansi tersebut pada jumpa wartawan di Jakarta, Rabu (5/10).
Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro), Hadar Gumay, mengatakan bahwa judicial review itu perlu dilakukan untuk menciptakan badan penyelenggara pemilu yang mandiri, nonpartisan atau bukan dari anggota partai tertentu, dan sesuai dengan norma.
"Kami ingin revisi UU Penyelenggara Pemilu diuji karena keterlibatan pemerintah dan DPR mencerminkan kepentingan politik dari para anggota parlemen tersebut," kata Hadar.
Sementara itu, aktivis prodemokrasi, Fadjroel Rachman, mengatakan bahwa pengatur undang-undang dan pelaku politik harus dipisahkan. Menurut Fadjroel Rachman, keikutsertaan DPR dalam mengatur penyelenggaraan pemilu akan menghasilkan calon pemimpin yang tidak berkualitas.
Persatuan aktivis peduli pemilu tersebut menolak Pasal 11 huruf i, Pasal 85 huruf i, Pasal 108 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan Pasal (11) ketentuan Perubahan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu terkait syarat menjadi anggota KPU, Bawaslu dan komposisi DKPP/ Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
Keputusan rapat paripurna DPR, pada 20 September lalu, menghapus ketentuan syarat keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk tidak menjadi anggota parpol minimal lima tahun sebelum mendaftar.
Hal serupa juga berlaku dalam keanggotaan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), yang dinilai secara tegas melibatkan perwakilan parpol di dalamnya. Pengajuan uji materi terhadap sejumlah ketentuan tersebut akan dilakukan oleh penggugat, yang terdiri dari 10 lembaga dan 55 pemilih perseorangan yang merasa hak konstitusional mereka terganggu.