Senin 03 Oct 2011 20:07 WIB

Lho Rapat Konsultasi KPK-DPR Soal APBN, Kok Lebih Banyak Bahas Pemanggilan Banggar

Rep: mansyur faqih/ Red: taufik rachman

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA—Dalam rapat konsultasi antara pimpinan DPR, fraksi dan KPK, pimpinan Komisi III mempertanyakan mengenai status pemanggilan pimpinan badan anggaran (banggar) dalam keterkaitannya di kasus Kemenakertrans. Mengomentari penjelasan pimpinan KPK, para pimpinan Komisi III menyatakan kalau permintaan klarifikasi dan saksi berbeda.

‘’KPK katanya membutuhkan klarifikasi mengenai pimpinan banggar. Tetapi apakah itu sama dengan menetapkan sebagai saksi. Itu beda. Ketika dipanggil memberikan klarifikasi mengenai tersangka yang belum jelas. Tapi kalau ditingkatkan jadi saksi, itu beda. Saksi itu mengalami, melihat, mungkin dia rapat,’’ ujar Ketua Komisi III, Benny K Harman, di Jakarta, Senin (3/10).

Menurutnya, ia  tidak ingin melakukan intervensi mengenai pemanggilan sebagai saksi dan sebagai pimpinan banggar yang mengetahui mekanisme anggaran. Hanya, ia menginginkan ada keterbukaan, posisi pimpinan banggar. Apakah untuk memberikan konsultasi, kralifikasi, atau saksi.

‘’Ini penting karena terkait dengan asas praduga tidak bersalah. Yang terjadi adalah asas praduga bersalah. Salah dulu ditetapkan, baru kemudian dibuktikan kalau tidak salah. Ini problem serius. Saya mengusulkan ada pembahasan lebih dalam. Mungkin kita ada perbedaan pandangan soal KUHAP dan undang-undang KPK. Tapi bukan seolah-olah saya tidak mendukung KPK,’’ ujarny.

Wakil Ketua Komisi III, Aziz Syamsudin juga mempertanyakan hal yang sama. Menurutnya, proses projustisia baru dimulai setelah ada tersangka. Pihak yang diminta saksi adalah yang melihat, menyaksikan, memberikan sarana, atau ikut di dalamnya. ‘’Ada di dalam junto 55. Beda dengan klarifikasi. Kalau dilihat dari surat KPK kepada pimpinan banggar, jelas pemeriksaan sebagai saksi atas pemeriksaan perorangan bukan lembaga,’’ ungkapnya.

Tapi, lanjut Aziz, etika proses pemanggilan saksi dalam hal ini tidak boleh mengambat ketatanegaraan yang lain. Caranya, bisa dipanggil satu, atau dua orang. Apalagi, Indonesia menggunakan sistem peradilan murah, sederhana dan cepat. ‘’Untuk rapat konsultasi kita setuju kalau banggar tidak hadir. Tapi asas praduga tidak bersalah tidak boleh dikesampingkan. Mereka (pimpinan banggar) belum tentu menerima duit,’’ tambahnya.

Benny juga mempermasalahkan mengenai anggaran lembaga penegak hukum untuk pemberantasan korupsi. Kejaksaan, katanya, meminta anggaran Rp 6 triliun untuk pemberantasan korupsi. realisasinya, hanya dikeluarkan Rp 2,5 triliun. Sementara ia mengaggap kalau pemerintah terlalu memanjakan KPK.

‘’Pimpinan dewan dan penegak hukum harus duduk bersama dan berbicara. Kewenangannya tidak sama, KPK terlalu powerful. Jangan salahkan polisi dan jaksa agung. Kalau mau sama-sama memberantas KKN, kasih kewenangan sama polisi dan jaksa agung,’’ ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement