REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Kementerian Kehutanan terus memerluas wilayah cakupan agroforestri. Kepala Balitbang Kementerian Kehutanan, Tachrir Fathony, mengatakan angka penduduk miskin sekitar hutan mencapai puluhan juta orang atau masih tersisa 35 persen.
“Agroforestri adalah jalan meningkatkan ekonomi masyarakat,” katanya kepada Republika.
Hutan-hutan di Pulau Jawa, khususnya yang dikelola oleh Perum Perhutani, sebagian besarnya sudah menerapkan sistem agroforestri. Dalam program terbaru di Solo (Jawa Tengah), sepuluh hektar (ha) kebun tanaman obat direncanakan dibangun.
Di Majalengka (Jawa Barat), seluas 340 ha lahan akan menjadi kawasan hutan agroforestri dengan sistem multilayer. Layer (lapisan) atas untuk tanaman pohon, lapisan tengah untuk tanaman berkayu. Sementara, layer bawah untuk tanaman pertanian dan perkebunan serta areal gembala ternak.
Sejak 1992 misalnya, Kemenhut bekerjasama dengan The World Agroforestry Center (Icraf) mengembangkan agroforestri di berbagai wilayah regional. Diantaranya fokus di Sumatera dan Papua.
Daerah-daerah sebaran agroforestri antara lain Pariaman (Sumatera Barat), Aceh, Papua, NTB, Rarung (Mataram), dan Air Nauli (Sumatera Utara). Penerapannya harus menyeimbangkan jumlah pohon dengan tanaman agroforestri. Berikutnya, ada pemilihan jenis-jenis tanaman apa saja yang bisa ditanam.
“Tentunya jenis yang toleran terhadap pohon,” tambah Tachrir.
Salah satu contoh tanaman agroforestri yang potensial adalah karet. Penelitian Icraf pada 2010 menunjukkan terjadi peningkatan jumlah rumah tangga masyarakat sekitar hutan yang mengadopsi agroforestri karet. Dalam hal ini, Icraf memberikan informasi tentang pengembangan karet menggunakan pendekatan tradisional.