Ahad 11 Sep 2011 19:50 WIB

Monorel di Surabaya Jadi Proyek Mahal

Rep: c01/ Red: cr01
Direktur Pengembangan Bisnis PT Kalla Group, Solihin Kalla, mempresentasikan proyek pembangunan monorel (ilustrasi).
Foto: Antara/Sahrul Manda Tikupadang
Direktur Pengembangan Bisnis PT Kalla Group, Solihin Kalla, mempresentasikan proyek pembangunan monorel (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA – Pembangunan monorel yang rencananya dilakukan Pemerintah Kota Surabaya diprediksi bakal terhambat persoalan biaya. Proyek monorel ditaksir berbiaya tinggi.

"Monorail butuh dana yang besar, ini yang akan menyulitkan Pemkot, " ujar Pakar transportasi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Hitapriya Suprayitno, Ahad (11/9).

Lantaran berbiaya tinggi, pembangunan monorel tersebut akan menjadi proyek jangka panjang. Proyek tersebut akan menjadi alternatif angkutan massal di Surabaya, setelah tol tengah menjadi polemik. Pemkot Surabaya telah memberi kesembatan bagi PT Bukaka Teknik Utama (BTU) salah satu anak perusahaan Kalla Group mengkaji kelayakan pembangunan Monorel.

Diakui Hitapriya, angkutan massal mendesak direalisasikan di Surabaya. Angkutan massal itu untuk mengantisipasi kemacetan 10 tahun mendatang. "Saat ini, bus kota dan angkot sudah mencukupi tetapi angkutan massal lain mendesak direalisasikan untuk mengatasi kemacetan 10 tahun mendatang," katanya.

Selama ini, lanjut dia, transportasi massal Surabaya yang terbagi dalam tiga jenis, yakni kereta komuter, bus kota dan bemo masih kurang dalam hal jangkauan. Menurutnya, hal itu secara tidak langsung membuat masyarakat akhirnya memilih kendaraan pribadi. "Jika tidak secepatnya dibangun, dalam tempo 10 tahun mendatang tingkat kemacetan di Surabaya akan semakin parah dan mendekati kelumpuhan," ujarnya.

Mahalnya proyek Monorail juga diungkapkan Pakar Statistika Bisnis dari ITS, Kresnayana Yahya. Dibutuhkan dana sekitar Rp 40 hingga 50 miliar tiap kilometernya untuk membangun monorail. Dengan jarak tempuh monorel yang membelah dari timur ke barat mencapai 20 kilometer, maka setidaknya dibutuhkan sekitar Rp 1 triliun."Jika ada investor yang berminat, biaya itu masih bisa direalisasikan, " ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement