Rabu 20 Jul 2011 14:46 WIB

Dana Transfer Daerah Banyak Dikorupsi

Rep: C13/ Red: Johar Arif
Koruptor, ilustrasi
Koruptor, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari DKI Jakarta AM Fatwa, mensinyalir dana transfer daerah rawan dikorupsi. Fatwa menjelaskan, nilai dana transfer daerah berdasarkan Undang-Undang (UU) APBN 2011 mencapai Rp 334,322 triliun. Perinciannya, dana bagi hasil (DBH) Rp 83,558 triliun, dana alokasi umum (DAU) Rp 225,532 triliun, dan dana alokasi khusus (DAK) 25,232 triliun.

Dana transfer daerah adalah dana perimbangan yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Kucuran transfer itu meliputi, DBH, DAU, dan DAK. Menurut Fatwa, banyak terjadi pejabat di pusat dan daerah, yang melakukan kebijakan pengeluaran dana APBN/APBD yang tidak sesuai ketentuan UU.

Meski pejabat tersebut tidak memperoleh keuntungan, kata dia, namun ada pihak lain yang diuntungkan. “Misal, pengadaan barang dan jasa di atas Rp 200 juta tanpa tender. Ini uang mengalir ke pribadi pejabat,” ujar Fatwa dalam diskusi Pengawasan Transfer dan Alokasi Anggaran dari Pusat ke Daerah di gedung DPD, Rabu (20/7).

Hadir pemateri lain, anggota Komisi II DPR Agus Purnomo, mantan menteri keuangan Fuad Bawazier, dan Kepala Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW Ade Irawan. Fatwa menyebut, banyak calo-calo anggaran untuk mengatur besaran DBH dan DAU untuk daerah tertentu.

Padahal, sambung dia, total besaran pembagian dana itu dihitung dengan formula tertentu. Apabila dikemudian hari dilakukan rekayasa dalam perhitungannya, Fatwa menilai berdampak pada penerimaan daerah lain. “Bagi hasil dan DAU daerah lain bisa turun, sebab daerah tertentu yang dimainkan digelembungkan,” terang mantan wakil ketua MPR tersebut.

Ade Irawan mengatakan, dana transfer daerah banyak yang habis dimakan koruptor yang memposisikan sebagai calo anggaran. Pola yang digunakan calo anggaran, kata Ade, semakin cantik sebab pintar mengelabui aturan. Namun, ia lebih menyalahkan pejabat pusat daripada daerah terkait terjadinya kebocoran dana transfer daerah itu.

Pasalnya banyak panitia anggaran yang menawarkan dana besar ke daerah, namun minta imbalan tertentu. Umpama tidak ada korupsi politik, kata Ade, bantuan disalurkan dengan tepat dan tidak ada kongkalikong di daerah. Yang memiriskan, ungkap Ade, korupsi dana transfer itu sudah masuk ke pesantren.

Caranya pejabat pusat memberi hibah kepada pemilik pesantren, namun hal itu tidak gratis. Sebab pejabat tersebut meminta potongan puluhan persen yang masuk ke rekeningnya. “Inilah model-model calo anggaran yang banyak dilakukan pejabat DPR,” terang Ade.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement