REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Asosiasi Dekan Fakultas Hukum (FH) Perguruan Tinggi Negeri (PTN) se-Indonesia mengkritik revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK). Wakil Dekan I FH Universitas Padjajaran (Unpad), Lastuti Abubakar, menyatakan, revisi UU MK harus memiliki tujuan jelas. Menurut dia, revisi bisa dilakukan DPR jika sesuai prosedur hukum. "Apa esensinya dan apakah bermanfaat jika direvisi? Itu pertanyaannya," tanya Lastuti di Jakarta, Selasa (21/6).
Dijelaskannya, revisi UU itu seharusnya memenuhi tiga aspek. Yakni, mencakup filosofi, sosiologi, dan yuridis. Untuk filosofi, kata dia, mengapa UU itu diubah. Tak kalah pentingnya adalah manfaat diubahnya UU itu. Kalau tak ada perbaikan dan produknya lebih baik dibanding sebelumnya, ia menyarankan sebaiknya revisi dihentikan. "Perubahan demi kebaikan itu harus memenuhi tiga unsur itu," ujarnya.
Wakil Dekan I FH Universitas Sumatera Utara (USU), Budiman Ginting, menyebut, keberadaan MK sudah bagus. Terbukti, kinerja MK dalam mebuat produk hukum lebih baik dibanding hasil kompromi eksekutif (Presiden) dan legislatif (DPR). Budiman menduga, seringnya UU buatan Presiden dan DPR yang dimentahkan di MK melalu judical review membuat keduanya geram. "Ini karena tak adanya kepentingan di MK. Hasil produk hukumnya pasti bagus," katanya menjelaskan.
Budiman menyatakan, keputusan ultra petita yang dilakukan MK dalam memutus kasus yang dipersoalkan DPR juga tak masalah. Sebab, MK dalam membuat keputusan selalu mendengar aspirasi publik. Alhasil, keputusan ultra petita lebih banyak untungnya di persidangan jika diputuskan hakim yang memiliki integritas.
Yang janggal, sambung Budiman, ultra petita yang termasuk hukum perdata mengapa malah dibawa DPR ke hukum tata negara. "Ini yang jadi persoalan. Jelas ada kepentingan legislatif dan yudikatif dalam revisi UU MK ini," tuduhnya.
DPR dalam sidang paripurna menyatakan setuju melakukan revisi UU MK. Dalam UU MK baru itu beberapa kewenangan MK dipangkas. Seperti, menghilangkan keputusan ultra petita yang memungkinkan MK menyelidiki lebih jauh persoalan yang dilaporkan.
UU MK yang baru juga menempatkan anggota DPR dalam tim pengawas MK bersama pemerintah, MA, dan wakil pemerintah. Namun, diberbagai kesempatan DPR selalu berkelit jika upaya itu untuk melemahkan MK.