REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, mengkiritik langkah Baleg DPR yang berencana merevisi UU MK. Jimly menilai tindakan DPR tersebut sebagai sebuah kelucuan. Pasalnya, Baleg DPR tak pernah konsultasi padanya. Malah, melakukan studi banding ke tempat lain yang tak jelas hasilnya.
Sebagai tim ahli yang ikut merumuskan berdirinya MK, Jimly mengaku sedih dengan langkah DPR tersebut. Apalagi, ia pernah menjabat sebagai Ketua MK pertama yang tahu seluk-beluk aturan lembanya tersebut. "Ini saya menilai DPR banyak ngawurnya merevisi UU MK," ujar Jimly usai diskusi 'Indonesia Kembali Menggugat' di Megawati Institute, Rabu (15/6).
Dengan aturan sekarang, ia menilai keberadaan MK sudah ideal. Jika UU MK direvisi, sambung Jimly, maka semuanya akan berantakan. Ia meminta DPR tak semuanya sendiri dalam bertindak. Mengurus negara, kata dia, harus ditata dengan benar. MK sebagai lembaga peradilan negara harusnya diperbaiki, bukan dilemahkan. "Negara harus ditata dengan benar. MK itu harus independen, saya heran dengan DPR," kata dia menjelaskan.
Terkait keputusan ultra petita yang sering dilakukan MK, Jimly menilai hal itu wajar dan tak bertentangan dengan hukum. MK, ucap dia, layak memutuskan perkara di luar yang diajukan jika memang ditemukan pelanggaran. Menurut Jimly, MK yang gemar memutuskan perkara dengan mekanisme ultra petita harus didorong dan dikembangkan. "Bahaya jika ultra petita dilarang," kata Jimly menegaskan.
Ada tiga hal penting yang berubah terkait Revisi UU MK yang diresmikan Baleg DPR. Pertama terkait dengan MK yang tidak bisa memutuskan putusan lain selain yang dimohonkan. Kedua, DPR menjadi anggota kehormatan MK. Ketiga, perubahan pasal dilakukan di DPR bukan lagi di MK.
Adapun pasal yang memuat hal tersebut yakni:
Pasal 27 A, berbunyi Untuk menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk majelis kehormatan mahkamah konstitusi yang anggotanya terdiri dari: a. 1 orang hakim konstitusi; b. 1 orang anggota komisi yudisial; c. 1 orang dari unsur DPR yang menangani bidang legislasi; d. 1 orang dari unsur pemerintah yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang hukum; e. 1 orang hakim agung.
Pasal 45A, Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok permohonan.
Pasal 57, (1) Putusan MK yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (2) Putusan MK yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945, UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal 59, (1) Putusan MK mengenai pengujian UU terhadap UUD 1945 disampaikan kepada DPR, DPRD, Presiden dan MA. (2) Jika diperlukan perubahan terhadap UU yang telah diuji, DPR atau presiden segera menindaklanjuti putusan MK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.