REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mantan Direktur Utama Merpati Airlines, Hotasi Nababan mengaku di awal sempat meragukan kualitas pesawat MA-60 buatan Cina. Keraguan itu digambarkan Hotasi serupa dengan keraguan publik usai jatuhnya pesawat itu beberapa waktu lalu di Perairan Kalimana, Papua. “Saya bisa mengerti hati publik,” ungkap Hotasi ujarnya di Jakarta, Rabu (25/5).
Yang menarik, kecemasan itu berubah 180 derajat begitu melakukan tes pesawat di Cina. Menurut Hotasi, layaknya maskapai penerbangan lain, sebelum pembelian pesawat diteken, ada semacam uji coba yang dilakukan. Uji coba itu dilakukan langsung oleh pilot, bukan mengirimkan tenaga insyinyur.
Hasilnya, ujar Hotasi, jauh dari keraguan semula, pesawat MA-60 laik terbang. “ Dan mereka bilang, pesawat ini sangat menarik ," ujar dia.
Direktur PT. Dirgantara Indonesia (DI), Budi Santoso mengatakan pembelian pesawat MA-60 didasarkan atas pertimbangan ekonomis. Salah satunya, adanya jaminan pemerintah sehingga harga pesawat bisa lebih murah.
“Kita kan waktu itu mendapat pinjaman dari pemerintah Cina. Tentu saja, itu menguntungkan Merpati,” papar dia yang mengatakan harga pesawat MA-60 bisa mencapai 14-15 juta dollar AS, atau lebih murah 1-2 juta dari pesawar CN-235 buatan DI.
Ihwal, performa dua pesawat, Budi mengatakan tidak bisa dibandingkan. Sebab, kedua pesawat memiliki kelas berbeda. Ia mengungkapkan itu sebagai respon bahwa CN 235 lebih baik daripada MA-60.
“Jelas berbeda, kedua pesawat memiliki plus-minusnya jadi tidak bisa dibandingkan. Jadinya, saya melihat sisi ekonomis saja dalam keputusan pembelian pesawat MA-60."