REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyatakan negara Indonesia dalam bahaya korupsi, karena itu harus ada gerakan untuk membebaskannya. "Negara kita sedang dalam bahaya korupsi. Yang saya ungkap hanya sebagian kecil, ada banyak di luar itu," kata Mahfud di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jakarta, Kamis (26/5).
Dalam kesempatan itu hadir Anggota Badan Pemeriksa Keuangan Ali Masykur Musa, serta jajaran PBNU antara lain Ketua Umum KH Said Aqil Siroj, Khatib Aam Syuriyah KH Malik Madaniy, Rais Syuriah KH Masdar F Masudi, dan Sekjen Marsudi Syuhud. Mahfud mengakui upaya memberantas korupsi di negara ini bukan persoalan mudah karena sudah sangat mengakar.
"Saya sendiri tidak tahu bagaimana caranya. Teori pemberantasan korupsi dari gudang sudah habis. Semua cara sudah disarankan," katanya.
Apalagi, kata Mahfud, saat ini terjadi saling sandera di antara elit, sehingga pemberantasan korupsi semakin sulit, padahal negara terus digerogoti. "Ada penyanderaan satu sama lain. Orang tidak berani menindak karena sudah disandera," katanya.
Menurutnya, gerakan moral dari masyarakat harus kembali digiatkan, setidaknya untuk meneriakkan kasus-kasus korupsi dan perlunya keseriusan dalam pemberantasan korupsi. "Sekarang kita kekurangan orang yang berani dan bisa berteriak. Semua orang disandera sehingga tidak berani berteriak. Kita yang tidak terlibat harus berteriak habis-habisan kalau sayang pada negara ini," katanya.
Dengan alasan itu pula, kata Mahfud, ia tidak peduli dengan berbagai tuduhan dan pernyataan miring yang ditujukan kepada dirinya selaku Ketua MK. "Yang penting saya tidak mengomentari perkara yang sedang saya tangani. Untuk kasus lain tak ada urusan. Saya tak peduli dibilang apa," katanya.
Sebelumnya Ali Masykur Musa mengungkapkan sejumlah temuan BPK terkait penyelewenangan keuangan negara. "Keuangan negara ini tak sebatas pada APBN. APBN hanya salah satu saja," katanya.
Menurut Ali Masykur, sedikitnya ada tujuh titik yang menjadi peluang dan biasa dimainkan, di antaranya adalah dana nonbudgeter, hibah, penerimaan negara bukan pajak, termasuk perjalanan dinas. "Perjalanan dinas 70 persen fiktif," tuturnya.
Sayangnya, kata Ali Masykur, BPK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan proses hukum seperti penyelidikan. Pada kesempatan itu Said Aqil kembali menegaskan komitmen NU dalam upaya pemberantasan korupsi. "Korupsi bisa membangkrutkan negara, dan tindakan membangkrutkan negara di Islam bisa dihukum mati," katanya.
Sebagai bentuk kepedulian moral NU terhadap upaya pemberantasan korupsi, katanya, NU pernah mengeluarkan fatwa NU yang melarang kyai ikut mensholati jenazah pelaku korupsi. "Bukan jenazah koruptor tak boleh disholati, tetapi kyai diimbau tidak ikut menshalati," katanya.