REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Terdakwa tindak pidana terorisme, Abu Bakar Ba'asyir, menyanggah semua dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum yang mengaitkan dirinya sebagai penyandang dana kamp militer Aceh. Ba'asyir menjelaskan dana infak yang terkumpul di Jama'ah Ansharut Tauhid (JAT) untuk keperluan kegiatan dakwah.
Ba'asyir mengungkapkan infak yang terkumpul di JAT untuk pembangunan Rumah Sakit di Palestina. Dana ini, tuturnya, disalurkan lewat Medical Emergency Rescue Committee (Mer-C). "Sebagian kami salurkan ke luar. Yakni untuk membantu rencana pendirian Rumah Sakit di Palestina," ungkap Ba'asyir saat membacakan pledoi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (25/5).
Selain itu, tuturnya, dana infak tersebut dihimpun untuk program pelaksanaan amar makruf nahi mungkar dan program rencana pembelian markas pusat di Solo. Menurut Ba'asyir, tidak ada dana yang disalurkan untuk latihan bersenjata di Aceh. Menurutnya, cerita bahwa dana yang ada di JAT untuk pembiayaan adalah fitnah tanpa bukti yang jujur. "Ini hanya cerita saksi-saksi rekayasanya densus 88," kata Ba'asyir menegaskan.
Ia pun menyanggah bahwa tuduhan jaksa penuntut umum yang menyebutkan dirinya mempengaruhi dan menghasut dr. Syarif Usman, Haryadi Usman dan Abdullah Al Katiri untuk menyediakan dana Aceh. "Saya tidak pernah menyuruh mereka infak untuk Aceh," tutur Ba'asyir. Menurutnya, ia hanya mengimbau agar seluruh anggota JAT berlomba-lomba untuk infak.
Terkait hubungannya dengan Ubaid, Ba'asyir menjelaskan Ubaid memang pernah datang ke Markas JAT Jakarta. Ketika itu, tuturnya, Ubaid membawa video kamp militer Aceh yang diputar di Markas yang ada di Pasar Minggu, Jakarta Selatan itu. Akan tetapi, ia menjelaskan saat itu Ubaid sudah keluar dari JAT. "Ia datang tujuannya mengajak kami. Tapi kami tolak untuk bergabung karena kami tidak mau beramal yang tidak ada kemampuan," tuturnya.
Ba'asyir menegaskan hubungan antara dia dengan Ubaid dan Abu Thalut sudah putus sejak ia menolak bergabung dengan kamp militer Aceh. Oleh karena itu, ia pun menyangkal tuduhan jaksa bahwa Ubaid rutin melapor kepadanya tentang perkembangan di Aceh dan menyerahkan surat tentang perkembangan Aceh.
Meski demikian, Ba'asyir menganggap kegiatan pelatihan tersebut (i'dad) merupakan ibadah yang mulia. Ia pun mengaku JAT sudah melaksanakan program i'dad fisik. Akan tetapi, tuturnya, sebatas dengan kemampuan yang JAT miliki. "Sikap saya jelas yakni menilai berdasarkan dalil Alqur'an dan Sunah bahwa latihan di Aceh itu amal ibadah yang mulia karena mentaati perintah Allah," ungkapnya.
Kuasa hukum Ba'asyir, Luthfie Hakim, memandang majelis hakim keliru dan tidak fair karena mengabulkan permintaan JPU untuk pemeriksaan saksi secara telekonferens. Menurutnya, hal tersebut telah melanggar hak terdakwa mendapatkan persidangan yang adil. "Alasan takut kepada terdakwa tidak valid," ungkapnya.
Menurutnya, hal tersebut melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Luthfie menjelaskan pasal 185 KUHAP (1) menentukan keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan di pengadilan.
Ketua majelis hakim, Heri Iswantoro, menerima berkas pledoi Ba'asyir. Ia pun menjadwalkan sidang pembacaan replik jaksa (tanggapan atas pledoi) pada Senin pekan depan. Sebelumnya, JPU mendakwa Ba'asyir berlapis tujuh. Ba'asyir dinilai telah melanggar pasal 14 Jo Pasal 9 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Ba'asyir dijerat tujuh lapis dakwaan. Ia dianggap melakukan perbuatan, merencanakan, menggerakan, ikut dalam permufakatan, memberikan dana, dan meminjam dana untuk tindak pidana terorisme. JPU pun menuntut Ba'asyir dengan hukuman pidana seumur hidup.