Ahad 06 Mar 2011 14:32 WIB

'Detasemen Anti-Anarki Bukan Jawaban Tindakan Kekerasan Massa'

Polisi berjaga-jaga di sejumlah tempat ibadah di Temanggung, pascarusuh.
Foto: Antara
Polisi berjaga-jaga di sejumlah tempat ibadah di Temanggung, pascarusuh.

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG - Koordinator Badan Pekerja Komisi Untuk Orang Hilang Korban tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar, meminta Kapolri untuk tidak membentuk Detasemen Anti Anarki. "Pembentukan institusional ini bukan jawaban atas upaya mencegah tindakan kekerasan massa, pasca peristiwa Cikeusik, Pandeglang," kata Haris Azhar, dalam keterangan persnya di Padang, Ahad (6/3).

Menurut dia, Kontras menilai, upaya untuk mencegah tindakan kekerasan massa kini mestinya dilakukan dengan cara mengevaluasi tindakan yang selama ini telah diambil, memperkuat satuan-satuan kerja dan wilayah. Selain itu mengefektifkan fungsi intelejen internal serta melengkapi anggota Polri melalui pelatihan-pelatihan intensif dan penggunaan kekuatan yang proporsional untuk menghadapi massa yang melakukan tindakan kekerasan.

Lebih khusus, katanya, Polri semestinya memastikan penghukuman yang maksimal sebagai pelaku kekerasan sebagai upaya efektif untuk menciptakan efek penjeraan kepada pelaku sekaligus sebagai upaya pencegahan kekerasan yang mungkin terjadi lagi. "Sebab dikhawatirkan pembentukan Detasemen Anti Anarkisme ini justru dapat digunakan untuk melakukan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh elemen-elemen masyarakat yang melakukan demonstrasi dan dituduh anarki, sehingga justru berpotensi melanggar HAM," katanya.

Faktanya, Polri selama ini selalu gamang melakukan tindakan hukum dan menggunakan kekuatan kepada pelaku kekerasan massa, sementara dengan mudahnya Polri melakukan penembakan atau menggunakan kekuatan berlebihan kepada aksi-aksi petani, nelayan, kaum miskin kota dan kelompok minoritas lainnya yang berjuang untuk mempertahankan hak mereka.

Di sisi lain, pembentukan Detasemen Anti Anarki ini dikhawatirkan justru akan tumpang tindih dengan unit kepolisian lainnya di tingkat Polsek, Polres dan Polda. "Selain itu tidak jelas pula sejauhmana koordinasi dengan unit kerja Perintis, Sabhara, Dalmas atau Brimob yang selama ini semestinya melakukan tindakan pencegahan tindakan kekerasan massa tersebut." katanya.

Mabes Polri sebagai penanggungjawab koordinasi tertinggi juga dikhawatirkan justru mempersulit birokrasi koordinasi di lapangan. Polri semestinya memperhatikan polemik yang beredar seputar pemberlakukan Protap Penanggulangan Anarkis No. 01/X/2010 sebagai dasar hukum pembentukan Detasemen Anti Anarkisme ini.

Terhadap hal tersebut, KontraS telah memberikan banyak catatan sebelum Protap diimplementasikan. Protap tersebut harus di integrasikan dengan protap penanganan unjuk rasa, dan peraturan internal lain yang mengimplementasikan standar HAM.

Selain itu membuat aturan yang lebih jelas dan lebih rinci khususnya terkait dengan tahapan pelaksanaan tindakan Polri serta perangkat untuk mengawal dan mengawasi implementasi protap sebagai prasyarat pemberlakuan Protap tersebut. "Ukuran terhadap batasan asas proporsionalitas, keabsahan, kebutuhan dan akuntabilitas harus dijalankan dengan ketat sesuai pada situasi terjadinya tindakan penggunaan kekuatan," katanya.

Tindakan kekuatan harus sekecil mungkin membatasi kerusakan atau kebebasan hak manusia, mempersiapkan kemampuan anggota Polri untuk mengukur jenis dan perubahan situasi yang patut direspon oleh anggota kepolisian dengan memperhatikan tujuan-tujuan yang sah. Selain itu membuat pelatihan penggunaan kekuatan termasuk penggunaan senjata kepada anggota Polri agar bisa menjalankan protap sesuai asas dan tahapan yang berlaku disamping memperketat sistem pengawasan dalam penggunaan kekuatan Polri.

Untuk itu, katanya lagi, harus ada sistem pertanggujawaban internal mulai dari prosedur pelaporan bagi anggota Polri yang melakukan tindakan ini hingga mekanisme penyelidikan secara internal setelah terjadinya insiden jika terjadi penyalahgunaan kewenangan, transparansi dan kontrol terhadap penggunaan alat-alat kekuatan termasuk jenis senjata yang digunakan. Harus ada batasan yang ketat terhadap penggunaan kekuatan senjata.

"Karena itu, kami meminta Polri membuka ruang konsultasi publik yang lebih terbuka utk pengambilan kebijakan yang lebih efektif untuk mencegah kekerasan massa," katanya.

Pada masa ini, tambahnya, Polri dapat mengefektifkan fungsi-fungsi yang telah ada dan memperkuat sistem pelatihan anggota serta penggunaan kekuatan yang proporsional untuk mencegah dan menindak tindakan kekerasan massa yang terjadi.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement