REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Wakil Ketua DPR dari Fraksi PDIP Pramono Anung Wibowo mengakui, PDIP berkali-kali mendapat tawaran untuk bergabung dalam pemerintahan. Dia juga mengakui ada komunikasi dengan pihak koalisi terkait itu. Namun, PDIP dalam kongres terakhir memutuskan untuk berada di luar pemerintahan.
"PDIP memang berulang kali diberikan tawaran," ujar Pram di Gedung DPR, Rabu (2/3). Dia mengatakan, sikap PDIP terkait hal itu berada di tangan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Meski demikian, menurut Pram, PDIP merupakan parpol yang konsisten dalam mempertahankan sikapnya.
Pram enggan memberi komentar maupun membenarkan soal pertemuan Hatta Rajasa dengan Megawati di kediaman Mega, Jl Teuku Umar, Jakarta Pusat, pada Selasa (1/3) malam. Pram menegaskan, komunikasi dengan pihak-pihak lain merupakan hal yang wajar. Terkait pernyataan Susilo Bambang Yudhoyono soal koalisi, Pram menilai, peringatan itu sah-sah saja.
"Warning bagi partai koalisi sah-sah saja," kata Pram. Namun, dia menyerahkan soal reshuffle itu sepenuhnya kepada Presiden. Pram mengibaratkan, kalau dalam film koboi, SBY ini sedang mencabut pistol dan memperlihatkannya beberapa saat, kemudian memasukkan kembali pistol itu pada tempatnya.
Dalam kesempatan itu, Pram mengingatkan, Indonesia menganut sistem presidensial. "Kalau koalisi dibuat dalam undang-undang itu berlebihan, tidak ada sistem di dunia seperti itu, mereka tidak bisa kooptasi sistem pemerintahan secara keseluruhan," katanya. Pram ingin pihak yang ada di koalisi jangan sedot perhatian besar dari rakyat.
Anggota Komisi II DPR asal Fraksi PDIP, Arif Wibowo mengatakan, PDIP tetap akan menjalankan amanat kongres, yakni berada di luar pemerintah. "Dalam setiap rapat, dalam setiap pertemuan di internal partai, amanat kongres itu selalu diulang-ulang ke semua kader, bahwa PDIP akan tetap berada di luar pemerintahan," kata Arif. Dia mengatakan, keputusan terkait itu juga ada di tangan Megawati.