REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Rapat dengar pendapat mengenai masalah ahmadiyah berakhir anti-klimaks. Jalannya rapat dinilai terlalu normatif. Penilaian itu yang dilontarkan anggota Komisi VIII DPR, Mohammad Arwani Thomafi, Ahad (20/2). Menurut dia rapat tidak representatif mewakili pendapat seluruh Ummat Islam. “Semestinya juga memanggil komponen masyarakat lain yang selama ini menyuarakan sikap berbeda dengan tokoh masyarakat yang diundang,” katanya.
Ia menjelaskan suara komisi VIII terpecah memandang ahamadiyah. Sebagian dari mereka mendesak ahmadiyah jadi agama baru, sebagaian lain masih mencoba mengupayakan dialog. Namun, Arwani menegaskan mayoritas menyatakan ajaran ahmadiyah sesat.
Komisi VIII, kata dia, secara eksplisit menyerahkan permasalahan ahmadiyah kepada Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri. Arwani berharap didapat solusi permanen agar permasalahan ahmadiyah tidak berlarut-larut. “Saya pikir harus dikembalikan pada hukum ini proses pendekatan yang paling objektif ,” ujar politisi PPP itu.
Arwani menggarisbawahi salah satu poin RDP dengan pihak ahmadiyah yang membuktikan mereka telah melakukan kebohongan publik. Dalam pernyataan yang ditandatangani ahmadiyah dihadapan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem), mereka menyatakan Mirza Gulam Ahmad bukan nabi melainkan mujadid. “Tapi dalam RDP kemarin mereka menyatakan sebagai nabi."
Ia mendesak Presiden menjalankan Undang-Undang PNPS 1/1965. Di dalamnya telah memberikan kewenangan penuh kepada Presiden untuk membubarkan organisasi yang melakukan penistaan agama. “Presdiden tidak mempunyai pilihan lain selain melaksanakan undang-undang tanpa mengurangi upaya dialog,” tambahnya.
Arwani mengaku optimis Presiden akan menajalankan manah konstitusi. Diantara Fraksi yang ada di DPR, PPP akhir-akhir ini paling gencar menyuarakan pembubaran ahmadiyah. Ke depan, mereka akan melihat sejauh mana Presiden menjalankan hukum. Menurut Arwani, itulah langkah politik yang diambil PPP untuk saat ini.