Jumat 11 Feb 2011 15:53 WIB

DPR Diminta Berhati-hati Soal UU Pengendalian Tembakau

Buruh pelinting rokok di pabrik rokok Indonesia
Foto: FOREIGN POLICY
Buruh pelinting rokok di pabrik rokok Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemerhati prakarsa bebas tembakau Gabriel Mahal meminta Badan Legislatif DPR RI agar tidak buru-buru melahirkan UU Pengendalian Dampak Produk Tembakau.

"RUU ini merupakan pelaksanaan proyek Prakarsa Bebas Tembakau. Bahkan, sebagaian besar substansi RUU ini diambil dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang belum kita ratifikasi," katanya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (11/2).

Ia menekankan sangat penting untuk memahami dan mendalami kepentingan apa dan siapa di balik proyek Prakarsa Bebas Tembakau dan FCTC itu. "Rezim hukum pengendalian produk tembakau atas nama kesehatan adalah salah satu bentuk dari bahaya yang patut diwaspadai. Setidaknya merupakan bentuk dari 'medical imperialism dan colonialism'," kata Gabriel.

Hal senada disampaikan peneliti dari Institut Indonesia Berdikari (IIB), Salahudin Daeng, pada Rapat Dengar Pendapat dengan Badan Legislasi RUU Pengadalian Dampak Tembakau bagi Kesehatan di DPR.

Menurut dia, kampanye anti tembakau dan desakan pengendalian yang semakin masif dalam beberapa waktu terakhir, seiring dengan semakin gerak negara maju dan perusahaan multinasional yang dominan dalam penguasaan produksi dan perdagangan komoditi tembakau ini.

"Kampanye yang disertai dengan kekuatan rezim hukum global pembatasan produksi, perdagangan dan konsumsi produk tembakau, menimbulkan banyak hambatan bagi negara-negara berkembang dan perusahaan kecil dalam mempertahankan eksistensinya dalam produksi dan perdagangan komoditi tembakau ini," kata Salahudin.

Menurut data FAO, ada sekitar 100 negara penghasil tembakau dengan produsen utama adalah Cina, India, Brasil, Amerika Serikat, Turki, Zimbabwe, dan Malawi dengan total produksi lebih dari 80 persen tembakau dunia. China menguasai 35 persen.

Pasar tembakau global pada tahun 2012, ungkap Salahudin, diproyeksikan mencapai 464,4 milyar dolar AS. "Jika diibaratkan sebagai suatu negara, maka angka ini berada pada urutan ke-23 sebagai negara dengan PDB terbesar di dunia," kata Salahudin.

Dari hasil penelitian yang dilakukannya, dalam periode 1961-2007, harga daun tembakau meningkat 2,39 persen per tahun, ekspor tembakau meningkat 2,19-4,58 per tahun, ekspor rokok meningkat 6,44 persen per tahun.Di tahun 2010, produksi, konsumsi dan perdagangan tembakau mencapai 7,1 juta ton.

Menurut Salahudin, data inilah yang penting untuk dipahami dan disadari dalam kebijakan legislasi nasional pengendalian dampak produk tembakau.

"Jangan sampai kita terbius dan terseret isu kesehatan. Isu kesehatan itu hanya bungkusan dari perebutan pasar produk tembakau yang semakin tajam dan melibatkan kompetisi yang kompleks," katanya.

Pertama, kompetisi antara negara berkembang dengan negara maju dalam memperebutkan pasar rokok. Kedua, kompetensi antara industri tembakau dan industri farmasi dalam merebut pasar nikotin.

"Ketiga, kompetensi di antara perusahaan rokok besar dan antara perusahaan besar dengan perusahaan kecil," kata Salahudin. Di tengah kompetisi seperti itu, kata Salahudin, Indonesia harus mengutamakan kepentingan nasional atas tembakau dengan segala industri nasionalnya.

"Bukan malah tunduk mengikuti skenario global melakukan kebijakan legislasi pengendalian produk tembakau yang pada akhirnya mematikan salah satu kekuatan ekonomi nasional," katanya.

Sementara itu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam pernyataan yang disampaikan sebelumnya, menyebutkan bahwa lebih dari 70.000 penelitian ilmiah di dunia telah membuktikan bahwa merokok tidak hanya merusak kesehatan, tetapi juga merusak ekonomi rumah tangga.

Pembelian rokok dan menghisap rokok merupakan perbuatan sia-sia dan menghilangkan peluang untuk dapat membiayai makanan bergizi, kesehatan dan pendidikan pada keluarga miskin. Tak hanya itu, menurut IDI, merokok menaikan biaya berobat akibat penyakit yang ditimbulkan oleh kebiasaan merokok, dan hilangnya pendapatan akibat kematian dini.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement