REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Abu Bakar Ba'asyir melalui Tim Pembela Muslim mendaftarkan uji materi pasal 21 (1) dan pasal 95 (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur alasan penahanan dan ganti kerugian dalam praperadilan karena penahanannya oleh aparat hukum sangat subjektif.
Koordinator Tim Pembela Muslim (TPM) Ahmad Michdan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu, menegaskan, pasal itu seringkali ditafsirkan semaunya oleh aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim).
Pasal 21 ayat (1) KUHAP berbunyi: "Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana".
Sementara Pasal 95 ayat (1) mengatur ganti kerugian jika seorang tersangka/terdakwa ditangkap, ditahan, dituntut, diadili tanpa alasan berdasarkan UU.
Menurut Michdan, unsur subjektivitas aparat untuk melakukan penahanan terdapat dalam pasal tersebut. "Pasal itu ada subjektivitas aparat dalam menahan atau tidak menahan seseorang," katanya.
Hal itu dialami oleh kliennya, Ustadz Abu Bakar Ba'asyir, yang sudah hampir lima bulan ditahan namun hingga kini berkasnya belum dilimpahkan dan ada dugaan aparat tidak memiliki bukti cukup untuk menahan Ba'asyir
Selain itu dia mengungkapkan kliennya tidak memenuhi unsur yang disebutkan dalam UU tersebut. "Kami dari awal posisi penangkapan, Ustadz sedang berdakwa, Ustadz tidak melarikan diri keluar negeri, dia malah takut dicomot Amerika, bila keluar negeri," katanya.
Michdan minta Mahkamah Konstitusi menghapuskan pasal tersebut atau diberikan keterangan tambahan syarat-syarat penahanan. Dia pun melihat penting ada institusi lainnya yang bisa memberikan pertimbangan kepada aparat ketika hendak melakukan penahanan seseorang atau tidak.
"Di rancangan KUHAP baru, ada hakim komisioner, itu ada koreksi 'balancing' untuk apakah hak subjektif itu dari satu pihak," kata Michdan.