Kamis 16 Dec 2010 02:45 WIB

Demi TPI, Mbak Tutut Terus Berjuang

Siti Hardiyanti Indra Rukmana
Foto: pesatnews.com
Siti Hardiyanti Indra Rukmana

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Putri mantan Presiden Soeharto, Siti Hardiyanti alias Mbak Tutut terus mempersoalkan kepemilikan sahamnya di PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia yang telah berubah menjadi MNC TV. Dalam gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan menghadirkan saksi kunci pengalihan saham stasiun televisi itu.

Kuasa hukum Mbak Tutut, Hary Ponto dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu menyebutkan, dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pihaknya akan menghadirkan saksi kunci untuk mengungkap mekanisme pengalihan saham Mbak Tutut di TPI ke Media Nusantara Citra (MNC) milik Harry Tanoesudibjo.

Hary Tanoe digugat Mbak Tutut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) secara ilegal. RUPS itu tanpa izin dari Mbak Tutut selaku pemilik mayoritas saham PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI) yang didirikan pada 23 Maret 1990.

Dia menjelaskan, kubu Hary Tanoe sempat meminta majelis hakim PN Jakpus menghentikan kasus ini dengan dalih gugatan Mbak Tutut lebih tepat diajukan ke badan arbitrase. Namun, permintaan Hary Tanoe ditolak majelis hakim. Hakim PN Jakpus tetap akan melanjutkan persidangan kasus ini.

Hary Ponto mengatakan, saksi kunci yang dihadirkan di PN Jakpus pada Rabu (16/12) akan membuktikan bahwa Hary Tanoe mengalihkan saham TPI melalui Sisminbakum di Depkeh.

"Besok dia akan berikan kesaksian bahwa telah terjadi pemblokiran," kata Hary Ponto.

Menurut Hary Ponto, Mbak Tutut selaku pemilik TPI menggelar RUPSLB dengan agenda mengganti jajaran direksi dan komisaris pada 17 Maret 2005. "Namun anehnya, saat didaftarkan ke Departemen Hukum dan HAM RI, RUPSLB tersebut ditolak," ujar Hary Ponto.

Akibatnya, RUPSLB Mbak Tutut tidak tercatat secara legal di Depkumham. Belakangan terungkap penolakan itu karena instalasi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) yang dikelola oleh perusahaan milik Hary Tanoe (PT. Sarana Rekatama Dinamika/SRD).

Karena ingin menguasai saham Mbak Tutut secara ilegal dan melawan hukum, kata dia, Hary Tanoe memanfaatkan SRD untuk memblokir RUPS Mbak Tutut. Namun mantan Direksi PT CTPI yang telah dipecat Mbak Tutut, menggelar Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham "tandingan" keesokan harinya, pada 18 Maret 2005.

RULBPS "tandingan" ini hanya dihadiri oleh Hary Tanoe (PT Berkah Karya Bersama) yang mengaku sebagai kuasa dari seluruh pemegang saham PT CTPI dan mengambil keputusan yang mengatasnamakan keputusan seluruh pemegang saham PT CTPI. Padahal kuasa Berkah tersebut sudah dicabut oleh Mbak Tutut pada 16 Maret 2005.

Namun RULBPS yang digelar secara ilegal dan tidak diakui pemegang saham mayoritas saat itu, Mbak Tutut, justru bisa didaftarkan dalam Sisminbakum dan kemudian mendapatkan persetujuan dari Menteri Hukum & HAM. Berdasarkan RUPSLB "tandingan" tersebut, Hary Tanoe dan Direksi PT CTPI yang ditunjuknya kemudian mengadakan lagi sejumlah RUPS/RUPSLB yang kesemuanya lancar masuk ke Sisminbakum.

Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar dalam investigasinya, menemukan adanya pemblokiran di Sisminbakum tersebut dan kemudian membatalkan pengesahan-pengesahan bagi akta-akta TPI versi Hary Tanoe.

Selain itu di persidangan kasus korupsi Sisminbakum oleh pemilik SRD, muncul pengakuan mengagetkan dari Dirut PT SRD Yohanes Waworuntu bahwa dirinya memang diperintahkan untuk memblokir akses pendaftaran RUPSLB Mbak Tutut.

Hubungan Mbak Tutut dengan Hary Tanoe bermula saat krisis moneter menghantam sejumlah perusahaan di Indonesia. PT  CTPI, sama seperti perusahaan- perusahaan lain di Indonesia pada waktu itu, juga mengalami kesulitan keuangan.

Pada tahun 2002, Mbak Tutut bekerjasama dengan Hary Tanoe (investor) untuk secara bersama-sama menyelesaikan utang-utang TPI, dengan porsi penyelesaian yang telah disepakati masing-masing.

Mbak Tutut menyelesaikan sebagian utang, Hary Tanoe menyelesaikan sebagiannya lagi. Saat itu, Hary Tanoe berjanji menyiapkan dana tunai sebesar US$ 55 juta sebagai bagian kewajibannya. Apabila kerja sama tersebut berjalan mulus sesuai yang disepakati di awal kerja sama, maka di akhir kerja sama, setelah dilakukan perhitungan, Hary Tanoe berhak mendapat 75 persen saham TPI.

Namun kerja sama tersebut tidak berjalan mulus, karena Hary Tanoe tidak memenuhi kewajiban seperti yang dijanjikan. Karena itu, Mbak Tutut bersedia mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan oleh Hary Tanoe berikut keuntungannya. Melihat adanya penawaran tersebut, Hary Tanoe tidak mau melepaskan TPI, dan justru menyelenggarakan RUPSLB TPI (padahal bukan pemegang saham TPI, dengan menggunakan surat kuasa Mbak Tutut yang sudah dicabut. Sebelumnya, Hary Tanoe mengatakan, kepemilikan saham MNC di TPI sah sesuai hukum.

Saat ini MNC memiliki 75 persen saham TPI yang diambilalih dari Mbak Tutut pada 2002. Saat itu, Hary menceritakan, Mbak Tutut tengah mengalami kesulitan ekonomi. Utang TPI membengkak terutama kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan PT Indosat Tbk. TPI juga memiliki tunggakan pajak.

Akhirnya, dilakukan kesepahaman pembelian saham melalui pembayaran utang dengan limit US$55 juta.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement