Senin 13 Dec 2010 03:52 WIB

Laporan MK pada Refly Harun Tak Bakal Dicabut

Rep: Indah Wulandari/ Red: Djibril Muhammad
Refli Harun
Refli Harun

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) tetap bersikukuh tidak mencabut laporan hasil investigasi tim independen pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Upaya tersebut untuk menjaga nama baik lembaga tersebut. "Sebagai orang yang disebut, saya tak pernah melakukan yang dituduhkan. Karena tuduhannya berkaitan dengan tindak pidana korupsi, direkomendasikan tim untuk diberikan pada lembaga yang berkompeten, yakni KPK," papar hakim MK Akil Mochtar di diskusi Menjaga Lembaga Peradilan Dari Mafia Hukum,Ahad (12/12).

Berdasarkan komitmen kesembilan hakim MK,maka hasil tersebut pun diteruskan ke KPK. Kita, imbuh Akil, sebenarnya tak mau konfrontatif. Tapi, pihaknya menindaklanjuti temuan dan rekomendasi tim setelah memeriksa Refly Harun, termasuk dua orang lainnya serta saran untuk membentuk whistle blower system di MK. Menurut Akil, laporan ini pun bukan untuk membela hakim, namun menjaga nama baik lembaga konstitusi.

"Saya yakin MK masih bersih karena sistem yang dibangun peradilan cepat, tanpa biaya, dan pemerintah mampu membiayai," imbuh Akil.

Berkaitan dengan kasus serupa yang dilaporkan terkait panitera MK, Makhfud, lembaga konstitusi ini bakal memprosesnya dengan membentuk tim internal hari Senin mendatang (13/12). "Kalau ada unsur pidana tentu diteruskan KPK. Problemnya ternyata pegawai mengadu juga ke KPK," jelas Akil.

Panitera Pengganti MK, Makhfud, pekan lalu meminta KPK menginvestigasi kasus suap calon Bupati Bengkulu Dirwan Mahmud yang mengajukan uji material Pasal 58 Hufur F dan H Undang-Undang Pemda tahun 2008. Makhfud, melalui pengacaranya Andi M Asrun,melaporkan gratifikasi yang diterimanya dan meminta KPK untuk memeriksa calon bupati Bengkulu dan pihak terkait lainnya.

Sebagai penguatnya, mereka membawa bukti transfer pengembalian uang gratifikasi. Laporan Makhfud dan pengacaranya ke KPK ini untuk menyikapi hasil laporan Tim Investigasi dugaan makelar di MK yang diketuai oleh Refly Harun. Hasil laporan itu menyebutkan, nama Makhfud disebut telah menerima uang suap dari Dirwan sebesar Rp 58 juta.

Pihak Makhfud mengakui,memang menerima uang tersebut. Akan tetapi uang yang disebut oleh Makhfud sebagai gratifikasi itu hanya Rp 35 juta. Di sisi lain,Makhfud membantah uang itu adalah suap agar perkara uji materil yang diajukan Dirwan bisa dikabulkan oleh MK.

Menurutnya, sekitar pertengahan tahun 2009, Dirwan menghubungi Makhfud untuk membicarakan pengajuan fatwa ke MA. Dirwan meminta pendapat mengeai substansi pengajuan materiil fatwa. Setelah pertemuan tersebut, pada Agustus 2009, utusan Dirwan mendatangi rumah Makhfud dan menyerahkan uang sebesar Rp 35 juta kepada Makhfud. Awalnya, Makhfud menolak. Namun Dirwan memaksa agar Makhfud menerima uang itu. Makhfud kemudian berubah pikiran. Alasannya, bila menolak uang tersebut, maka ada kemungkinan uang tersebut tidak kembali ke tangan Dirwan.

Makhfud lantas menyimpan uang persahabatan dari Dirwan. Selain menerima uang Rp 35 juta, istri Makhfud juga dihadiahi sertifikat tanah oleh Dirwan. Namun, tiga hari setelah sertifikat tanah di Pondok Pinang diterima, Makhfud mengembalikannya ke Dirwan.

Setelah keluar putusan MK tentang gugatan uji materiil Undang-Undang Pemda, Dirwan meminta agar uang persahabatan itu dikembalikan. Makhfud kemudian mentransfer uang sebesar Rp 35 juta ke Dirwan pada April 2010. Menanggapi kedua laporan ini, Akil pun melontarkan kritikan terhadap pemeriksaan  orang-orang yang diduga terlibat. "Kenapa keterangannya hanya dari pengacara. Tapi, bupati tak pernah diperiksa. Ini mengarah ke pembunuhan karakter kalau skenarionya begitu," jelas Akil. Ia pun meminta publik agar mencermati kasus ini dengan jeli serta melihat perkembangan hukum selanjutnya.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Gayus Lumbuun menilai,lembaga peradilan dan legislasi memang rentan dari intervensi mafia. "Mafia hukum merupakan bentuk triad kejahatan terorganisir dan masif memasuki hukum dan politik di Indonesia,"papar Gayus.

Di luar fenomena itu,Gayus pun mengakui, MK menjadi salah satu lembaga yang bebas mafia, namun tak perlu melaporkan pada KPK. "MK andalan sebagai penjaga konstitusi. Saya menyarankan Pak Akil dan MK memanfaatkan hasil ini untuk melaporkan ke KPK dan aparat lain, agar publik bisa melihat MK bersih," ujarnya.

Sementara itu, aktifis Lembaga Penegakan Hukum dan Strategi Nasional (LPHSN) Achmad Rifai menjelaskan, kasus MK bisa menjadi teladan bagi lembaga hukum lain di Indonesia. Pasalnya, MK dinilainya mempunyai integritas dengan melakukan pengawasan internal terlebih dulu pada tuduhan tersebut."Ini contoh menarik,bukan karena kecenderungan untuk melaporkan Refly ke KPK,tapi memberi teladan MK siap diperiksa. Harus seperti ini dan harus diapresiasi,"ujar Rifai.

Seperti diketahui, pengaduan ke KPK yang merupakan tindak lanjut dari laporan tim investigasi di MK ini, bermula dari keterangan pengacara Bupati Simalungun JR Saragih, Refly Harun. Dalam keterangan keduanya disebutkan, di balik kemenangan Saragih dan wakilnya Nuriaty Damanik pada 24 September 2010 silam, pasangan tersebut mencoba menyuap hakim MK.

Dalam jumpa pers di Gedung MK, Kamis (9/12) Ketua MK Mahfud MD menjelaskan kasus ini berawal saat Refly  menagih bayaran mereka pada kliennya JR Saragih. Saat diminta bayaran, Saragih justru meminta ada potongan harga pembayaran sebesar Rp 1 miliar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement