REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Jaringan Solidaritas Keluarga Korban untuk Keadilan (JSKK) keberatan dengan rencana pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto. Usulan bagi Presiden kedua Republik Indonesia ini kurang tepat dengan mempertimbangkan konteks keadilan.
"Di masa kepemimpinan Soeharto bersama rezim Orde Baru telah terjadi banyak rangkaian kasus-kasus pelanggaram HAM yang berat. Akibatnya banyak korban di kalangan masyarakat yang kehilangan hak-nya dan menderita," papar Wakil Koordinator Kontras Haris Azhar,Senin (18/10).
Di luar konteks hak asasi manusia,ada cacat dalam upaya pemberantasan korupsi dan kolusi serta nepotisme.
Terkait korupsi, ada Ketetapan MPR (TAP MPR) Nomor XI tahun 1998 tentang Penyelenggaraaan Negara yang Bebas KKN (kolusi korupsi nepotisme) yang isinya mengamanatkan penuntasan dugaan KKN mantan Presiden Soeharto. Bahkan PBB telah mengeluarkan laporan Stolen Asset Recovery (StAR) pada 2005 yang menyebutkan bahwa Soeharto berada pada peringkat pertama sebagai (mantan) Presiden terkorup di abad 20.
"Kematian Soeharto pada tahun 2008 hanya mengugurkan kewajibannya untuk mempertanggung jawaban secara hukum. Namun di sisi lain, ada kewajiban negara yang masih belum ditunaikan oleh pemerintah hingga saat ini," imbuh Haris.
Pemerintah pun, tambahnya, harus memperhatikan asas keadilan sebagaimana yang termaktub di dalam UU Nomor 20 tahun 2009 tentang pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan. Oleh karenanya, pemberian gelar pahlawan terhadap Soeharto dari Presiden SBY semakin menyesakkan derita para korban dari kasus-kasus HAM.