REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Sidang dua perkara kasus korupsi dan suap Komisaris Jenderal Susno Duadji dinilai menyesatkan dan provokatif. Dua perkara itu dinilai berbeda dan tidak dapat disidangkan bersamaan. Pengadilan suatu perkara seharusnya disesuaikan dengan tempat pelaku melakukan tindak pidana.
Penasehat hukum terdakwa, Henry Yosodiningrat, bertanya-tanya apa sangkut-paut kasus arwana dan korupsi Pilkada Jawa Barat. Tidak bisa kedua perkara itu dinilai sama-sama korupsi. "Itu penilaian yang dangkal," terangnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jl Ampera, Jakarta, Rabu (13/10).
Dirinya menilai penggabungan dua perkara ini provokatif. Menurut Henry tidak ada penyebutan penggabungan dua perkara dalam satu dakwaan.
Dia bertanya-tanya berdasarkan pendapat ahli hukum mana Pengadilan Jakarta Selatan bisa mengadili perkara korupsi Pilkada Jawa Barat 2008 lalu. "Baca ketentuannya di pasal 141 KUHAP," tegasnya. Kalau masih saja dipaksakan berwenang, Henry menyatakan bersedia untuk belajar kembali tentang hukum.
Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum, Erbagtyo Rohan, menjelaskan pernyataan provokatif dan sesat yang diutarakan penasehat hukum terdakwa seharusnya tidak disampaikan. Dia mengatakan, penasehat hukum harus memahami surat pelimpahan perkara acara pemeriksaan biasa hanya berfungsi sebagai pengantar atas dua berkas perkara dan surat dakwaan yang diterima pengadilan.
"Ketua pengadilan mempelajari apakah perkara itu masuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya atau tidak," terang JPU seraya mengutip pasal 147 KUHAP. Dirinya menyimpulkan ketua pastilah mempelajari hal tersebut.