Selasa 05 Oct 2010 03:21 WIB

Tragisnya Indonesia di Bawah Kepemimpinan SBY-Boediono

Yusril Ihza Mahendra
Foto: Antara
Yusril Ihza Mahendra

REPUBLIKA.CO.ID, Jakarta--Kalau membaca Pembukaan UUD 1945, akan ditemukan kata-kata yang penuh makna, yakni negara yang dibangun ini bertujuan untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam kerangka itulah, kita membentuk pemerintahan untuk menjalankan kekuasaan atas nama negara.

Kini, Pemerintahan SBY-Boediono baru menjalankan kekuasaan pemerintahan negara melalui Pemilu yang buruk di tahun 2009, setahun saja, sejak dilantik 20 Oktober 2009. "Sejak awal, Pemilu yang buruk dengan manipulasi daftar pemilih, IT KPU yang amburadul, dan dugaan penggunaan dana bailout Bank Century untuk membiayai kampanye Pilpres SBY Boediono, sejak awal telah menyebabkan Pemerintah baru ini mengalami krisis kewibawaan," tutur Yusril Ihza Mahendar dalam keterangan tertulisnya yang dikirimkam kepada Republika, Senin (4/10).

Memang, lanjut dia apa yang dikemukakan baru bersifat dugaan. Namun sikap defensif pemerintah dan kekuatan-kekuatan politik pendukungnya terhadap semua permasalahan, secara politik justru semakin mempreteli kewiwabaan Pemerintah.

Soal manipulasi data pemilih misalnya, Yusril membeberkan pernah menjadi angket di DPR yang lama. Namun DPR baru hasil Pemilu 2009 tidak meneruskan penyelidikannya, padahal menurut UU Angket, DPR baru berkewajiban meneruskan angket tersebut.

"Negosiasi politik antar partai dalam penyusunan KIB II, nampaknya telah menenggelamkan kewajiban DPR baru untuk meneruskan hak angket tersebut," ujar mantan ketua umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini. 

Penyelidikan terhadap amburadulnya IT KPU yang diduga kuat memainkan peranan besar dalam manipulasi Pemilu dan Pilpres, Yusril mengatakan, telah menelan korban dengan dijebloskannya Antasari Azhar ke dalam penjara dengan tuduhan yang mencengangkan, yang hingga kini tetap misteri.

Antasari, menurut dia, mengetahui seluk beluk IT KPU yang dibangun dengan biaya besar, termasuk tahu siapa rekanan yang memenangkan pengadaan peralatan IT itu. "Dia baru saja berniat menyelidiki, belum apa-apa, tapi nasibnya keburu mengenaskan. Akhirnya rencana menyelidiki IT KPU kandas bersamaan dengan dijebloskannya Antasari ke dalam tahanan," katanya penuh dengan haru.

Bibit Slamet Riyanto dan Chandra Hamzah lain lagi ceritanya. Yusril mengungkapkan, niat mereka untuk menelusuri bailout Century menjadi kandas dengan isu yang sengaja ditimpakan kepada mereka, yakni penyuapan. Sampai sekarang status Bibit dan Chandra masih tersangka.

"Surat Penghentian Penyidikan terhadap mereka telah ditolak pengadilan. Kini kabarnya sedang diuapayakan kasasi ke Mahkamah Agung. KPK menjadi lumpuh dengan kasus yang menimpa tiga pimpinannya. Sementara Susno Duadji yang mulai buka mulut hal-hal terkait dengan Century, dijebloskan ke dalam tahanan dengan tuduhan korupsi ketika menjadi Kapolda Jawa Barat," ungkapnya.

Sejak itu, ia menilai, tiga institusi penegak hukum, KPK, Kepolisian dan Kejaksaan seolah menjadi berhadap-hadapan satu sama lain. Padahal, Presiden berkewajiban menjaga harmonisasi antara lembaga penegak hukum. Konflik terbuka tiga lembaga ini akan berakibat merosotnya kewibaan aparatur penegak hukum.

"Kalau kewibawaan aparatur penegak hukum rusak, maka krisis kewibawaan akan makin melebar. Rakyat tak percaya penegakkan hukum dilakukan dengan niat yang tulus demi tegaknya hukum. Penegakan hukum hanyalah alat permainan untuk menutupi dan membela kepentingan. Negara akhirnya akan terjerumus kepada krisis kewibawaan yang kian dalam," tuturnya.

Dalam suasana krisis seperti itu, Yusril menambahkan, Pemerintah masih berupaya untuk membangun citra memberantas korupsi. Namun upaya tersebut tak berhasil memulihkan citra, kendatipun bagi SBY, citra adalah Panglima!. Sejumlah kasus lama dibongkar-bongkar seperti kasus penyuapan sejumlah anggota DPR dalam pemilihan Miranda Gultom sebagai Deputi Senior Guberbur BI.

"Kasus Sisminbakum diangkat kembali, walau sejak awal orang awam pun tahu ada rekayasa dibalik semua itu. Namun, kalau menyinggung bailout Century, segala upaya dilakukan agar mega skandal ini tidak terkuak, karena akan menohok substansi legalitas Pemilu 2009 dengan komposisi anggota DPR seperti sekarang, dan Pilpres 2009 yang dimenangkan SBY-Boediono. IT KPU kini sudah hilang dari ingatan publik. Padahal, kalau ini terkuak, akan ketahuan juga bagaimana sesungguhnya rekayasa Pemilu 2009 dilakukan," tegasnya.

Semua itu, lanjut Yusril,  hanya dipahami oleh masyarakat kelas menengah dan kelas atas. Masyarakat kelas bawah, walaupun mendengar berita, mungkin kurang mampu mencerna dan kurang menaruh perhatian tentang hal-hal yang tidak secara langsung mengenai kehidupan mereka.

Namun ketidak-adilan tetap mereka rasakan, ketika Pemerintah yang tengah mengalami krisis kewibawaan sibuk membela dan mempertahankan diri dengan membangun citra diri yang bagus dan aduhai, telah lalai mengantisipasi dan menyelesaikan hal-hal yang berpotensi menjadi konflik di kalangan masyarakat kelas bawah.

"Pemerintah SBY tetap saja tak kunjung mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat yang terus terpinggirkan dalam kemiskinan yang makin dalam. Lapangan kerja dan lapangan berusaha begitu sulit dalam setahun terakhir ini, yang semakin mendorong meningkatnya kejahatan. Rasa aman rakyat hilang, seiring dengan merosotnya kewibawaan Pemerintah," bebernya.

Yusril merefleksikan, konflik antar kelompok dalam masyarakat terjadi di mana-mana dengan aneka latar belakang isu, etnik, agama, premanisme dan terorisme. Rakyat yang jengkel mulai menyerbu kantor polisi yang menjadi simbol negara dalam melindungi bangsanya. "Namun apa yang terjadi, polisi justru melipatgandakan kewaspadaan untuk melindungi diri sendiri dari ancaman teroris dan penjahat. Kalau aparat keamanan sibuk melindungi diri sendiri, bagaimana mungkin akan mampu melindungi rakyat?," tanya dia.

Bahkan, ia menambahkan, ketika ketidak-adilan makin meluas, negara seperti tidak hadir. Padahal negara berkewajiban melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Ketika wilayah negara diterobos oleh petugas negara lain, negara juga tidak menunjukkan ketegasan sikap. "Negara seakan tak hadir melindungi tumpah darah Indonesia dan membiarkan harga dirinya terinjak-injak. Sungguh tragis nasib bangsa dan negara yang dipimpin Presiden SBY-Boediono ini," tandas Yusril.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement