REPUBLIKA.CO.ID,AKARTA-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata belum memproses pemanggilan Nunun Nurbaetie Daradjatun sebagai saksi kasus dugaan suap cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004. KPK pun dianggap tak adil mengusut kasus ini.
"Pihak keluarga belum menerima panggilan, dan kalaupun ada panggilan, kami harus melihat kondisi ibu Nunun dulu," ungkap salah satu pengacara Nunun, Ina Rachman,Kamis (16/9).Jika kesehatannya memungkinkan,lanjutnya,kliennya dipastikan akan hadir dalam persidangan 26 tersangka baru kasus tersebut di Pengadilan Tipikor.
Sementara itu, rekan Ina, Partahi Sihombing justru menegaskan,selain belum menerima surat pemanggilan dari KPK,kondisi Nunun belum ada perkembangan membaik. "Kalaupun ada surat panggilan, Bu Nunun belum bisa memenuhi panggilan dikarenakan masih belum ada kemajuan mengenai sakitnya,"jelas Partahi.
Di sisi lain,Partahi mendukung KPK mencari alat bukti yang memperkuat ke-26 tersangka mantan legislator itu menerima suap. Semuanya,ujar Partahi,tergantung bukti yang dipunyai KPK untuk menjerat aktor utama pemberi cek pelawat. "Tetapi kalau para anggota DPR itu dikatakan menerima untuk kepentingan Miranda (Goeltom), ya segera saja Miranda diproses,"cetusnya.
Lebih lanjut,Partahi meyakinkan jika posisi Nunun dalam kasus ini belum terbukti secara hukum sebagai pemberi. Pasalnya,para jaksa KPK di persidangan empat tersangka sebelumnya belum bisa membuktikan unsur bahwa memang Nunun yang menginstruksikan bawahannya, Arie Malangjudo untuk membagikan cek pelawat senilai total Rp 24 miliar itu.
Ia menilai, keterlibatan Miranda sudah disebut dalam persidangan Udju Juhaeri, Endin AJ Soefihara, Hamka Yandhu, dan Dudhie Makmun Murod. Dalam persidangan disebut bahwa cek perjalanan yang diterima para politisi itu terkait dengan pemenangan Miranda sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. "Harusnya target utama Bu Miranda dong, kan semua ini untuk kemenangan dia," tegas Ina Rachman lagi.
Sementara itu,pakar hukum pidana Andi Hamzah menilai,KPK kurang adil dalam memproses kasus ini. Lantaran tidak bersamaan mengusut pihak pemberi dan penerima suap. "Tidak adil. Yang menyuap juga harus dikejar. Tidak bisa yang terima saja, harus dua-duanya,"papar Andi.
Andi menegaskan,waktu penyidikan antara pemberi dan penerima tidak harus bersamaan. Tapi,ujarnya,KPK harus mengatur waktunya berdekatan,agar tidak perlu berlama-lama untuk pembuktiannya."Penyidikannya seharusnya bersamaan, diadilinya boleh berbeda. Keduanya harus dipidana jangan hanya yang menerima. Bahkan yang memberi harus lebih besar hukumnya, karena dia yang aktif,"jelas Andi.
Mantan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Swaray Goeltom pada persidangan 5 April 2010, membantah telah mengeluarkan 480 lembar cek pelawat pasca dirinya terpilih menjadi Deputi Gubernur Senior BI periode 2004-2009. Miranda mengaku baru mengetahuinya setelah ada pengakuan dari Agus Chondro Prayitno ke KPK.
Walhasil,KPK menduga 26 politisi yang berasal dari Fraksi Golkar, Fraksi PDI Perjuangan, dan Fraksi PPP menerima suap. KPK menyangkakan para mantan anggota DPR itu melanggar ketentuan mengenai penyuapan yakni Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) kesatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana.