REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR--Guru besar ilmu hukum Universitas Andalas, Saldi Isra, mengecam sikap DPR. Menurut dia, penolakan pasal-pasal penguatan Pusat Pelaporan Transaksi Analisis dan Keuangan (PPATK) oleh Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dinilai berlebihan.
"Semangat perubahan semakin hari semakin lama ditinggalkan. Para penegak hukum konvensional berselingkuh dengan pembuat undang-undang untuk melakukan pembatasan wewenang terhadap lembaga-lembaga baru," ujar Saldi dalam workshop media: Wartawan dan Rancangan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Hotel Sahira, Bogor, akhir pekan lalu.
Dalam konstitusi, ungkap Saldi, tidak diatur pasal yang dapat membatasi kewenangan lembaga baru terhadap lembaga sebelumnya. Menurut Saldi, pasal dalam konstitusi yang mengatur tentang hubungan kelembagaan sendiri, yakni pasal 24 ayat 3, tidak menyebutkan adanya pembatasan tersebut.
Di tempat yang sama, Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Husein, memang menyayangkan sikap beberapa anggota dewan yang tidak menerima usul PPPATK tentang penguatan lembaga yang dipimpinnya itu. "Ada fraksi yang kerjaannya hanya mengedrop saja, tidak ada solusi," tuturnya. Meski demikian, Yunus mengaku bersyukur dapat menegosiasikan beberapa pasal untuk digolkan dalam rapat dengan panitia kerja DPR, Kamis (29/7) lalu.
Koordinator bidang hukum Indonesian Corruption Watch (ICW), Febridiansyah, mengatakan terdapat beberapa fraksi yang dinilai kontroversial dalam melihat beleid tersebut. Berdasarkan penelitian ICW terhadap daftar inventarisasi masalah (DIM) Panitia Kerja DPR, terdapat beberapa pasal yang menjadi titik poin dari kontroversi tersebut.
"Seperti Fraksi PPP meminta agar unsur advokat dihapus sebagai pihak yang menjadi pelapor," ujar Febridiansyah. Walhasil, pasal ini pun dihapus. Menurut Febri, alasan dihapuskannya pasal 15 huruf (b) dalam RUU tersebut karena advokat merupakan penegak hukum. Namun, ungkap Febri, sikap tersebut bertentangan dengan upaya pemberantasan mafia hukum di kalangan advokat. Ia pun menilai usul tersebut mengandung conflict of interest karena anggota Panja dari PPP juga advokat.
Selain itu, terdapat fraksi lain seperti fraksi PDIP yang menolak soal penguatan kewenangan PPATK untuk melakukan pemblokiran rekening seperti pasal 64 RUU. PDIP, ungkap Febri, menolak pasal tersebut dan mengusulkan agar PPATK tetap meminta pemblokiran kepada penyidik. "Usulan PDIP ini membuat upaya menyelamatkan uang hasil kejahatan semakin sulit karena harus melewati proses penyidik," jelasnya.