REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG--Pengamat militer MT Arifin berpendapat sudah saatnya TNI diberi hak memilih dalam pemilihan umum (pemilu), akan tetapi tidak boleh dipilih karena berada di bawah jaminan negara.
"Sudah semestinya hak memilih bagi TNI diaktifkan," kata MT Arifin ketika dihubungi dari Semarang.
Ia menjelaskan selama orde baru, TNI tidak diberi hak memilih karena kala itu berlaku sistem perwakilan, dan tidak memberikan hak memilih langsung karena dikhawatirkan terjadi perpecahan.
Menurut dia, hak memilih TNI dapat diaktifkan, akan tetapi mereka tidak mempunyai hak untuk dipilih, karena mereka berada di bawah jaminan negara. "Seluruh warga negara yang bekerja, mengabdi kepada negara atau hidup di bawah jaminan negara mempunyai hak pilih, akan tetapi tidak punya hak dipiih," katanya.
MT Arifin menjelaskan bagi TNI yang menginginkan hak memilih dan dipilih, maka harus melepaskan statusnya sebagai aparatur negara dengan mundur dari militer.
Menurut dia, dampaknya tidak bagus jika warga negara yang hidup dalam jaminan negara maju dalam pemilu, dan setelah gagal kembali ke jabatan semula."Jika ingin berpolitik, maka harus konsisten berpolitik dan mengundurkan diri," kataya.
Soal kekhawatiran pemberian hak pilih dalam pemilu dapat mempengaruhi tugas TNI mempertahankan NKRI, MT Arifin menegaskan bahwa yang perlu diperhatikan adalah kesiapan TNI dan dalam waktu dua kali pemilu, maka dapat dilakukan persiapan. Hal tersebut harus dipertegas dalama aturan termasuk militer tidak mempunyai hak berpartai politik.
Sebelumnya, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengemukakan bahwa hak pilih bagi anggota TNI pada yang berkembang saat ini hanya sekadar wacana pihak tertentu.
"Sesuai dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 jelas disebutkan bahwa TNI harus netral. Mereka tidak boleh memihak kepada satu partai politik pun," katanya.
Menurut dia, untuk mengembalikan hak pilih itu, bukan mudah, tapi perlu persetujuan DPR dan Presiden untuk mengubah regulasi tersebut.