REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pro kontra hak pilih TNI/Polri terus bergulir. Kondisi politik dan psikologis para prajurit menjadi pertimbangan kuat.
"Saya pribadi setuju TNI/Polri memiliki hak pilih, tapi tergantung dari komandannya. Tidak ada satu pun pasal dalam UUD yang tidak boleh memilih, jelas Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, Sabtu. (26/6).
Kepemimpinan jadi pertimbangan, sambung Patrialis, karena hak pilih TNI/Polri itu harus mendapat masukan dari Panglima TNI dan Kapolri. Jika para petinggi kedua institusi tesebut melihat hak tadi sudah memungkinkan difungsikan,maka bakal dilaksanakan.
Menurut Patrialis,prosedur ini dilakukan karena berkaitan dengan pilihan politik. "Jangan sampai TNI tu tidak satu di dalam bidang ke TNI-annya gara-gara berbeda dalam bidang politik,"ulasnya.
Sementara itu, sosiolog Universitas Indonesia Thamrin Amal Tamagola menilai masyarakat sipil belum siap menyambut hak pilih bagi TNI. " Selesaikan dulu pelanggaran HAM di Aceh dan Jakarta, jenderal yang jelas terlibat harus mengaku salah. Kalau kita tidak melakukan rekonsiliasi saya kira masyarakat tidak siap menerima kenyataan hak pilih TNI," terang Thamrin.
Ia melihat refleksi dua institusi tadi masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat karena dugaan melakukan berbagai pelanggaran HAM. Belum waktunya TNI mendapat hak politik, cetus Thamrin, karena masyarakat belum siap menerima kalau belum sembuh dari sakit hati oleh TNI pada masa lampau.
Pernyataan Thamrin ditepis mantan Gubernur Akademi Militer Mayjen (Purn) Noor Aman. Ia merasa hak politik TNI harus dikembalikan. Aman menilai TNI sama dengan WNI lainnya layak mendapat hak pilih dalam pemilu 2014 mendatang."Hak pilih adalah kewajiban politik yang harus kita laksanakan," ujarnya.
Aman menyampaikan, TNI sudah melepas kekerasan dan terus melakukan reformasi. Sehingga ia yakin masyarakat sudah siap menerima hak politik TNI. "Hak pilih diberikan agar TNI bisa melaksanakan hak dan kewajiban sebagai warga negara," jelasnya.