REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-–Usulan Fraksi Partai Golkar untuk menganggarkan dana sebesar Rp 1 miliar bagi setiap desa di Tanah Air memang menuai respons positif dari anggota fraksi lainnya. Namun, efektivitas dana desa itu masih diragukan.
Koordinator advokasi dan investigasi Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Uchok Sky Khadafi, termasuk yang meragukan efektivitas dana itu. Dia beralasan, sumber daya manusia di desa tidak memiliki pengetahuan cukup untuk mengelola dana yang besar.
Pengalaman Indonesia dengan pengelolaan PNPM atau Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat menjadi buktinya. ''Kepala desa kerap dikibuli dengan ancaman tidak akan diberi dana PNPM jika tidak bersedia memberi fee kepada fasilitator,'' ungkapnya, Ahad (13/6).
Karena tidak berdaya menghadapi calo itu, kepala desa akhirnya tunduk dan bersedia memotong anggarannya demi menerima kucuran PNPM. Masalah terbesar yang membelit program serupa, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), pada akhirnya ialah korupsi. Dana desa pun dikuatirkan Uchok akan mengalami nasib serupa. ''Pangkalnya karena desa tidak memiliki kekuatan mengelola uang ini,'' tegasnya.
Menurut Fitra, alokasi dana dari pusat bagi pembangunan desa memang tergolong minim. Perimbangan dana ke tingkat desa belum signifikan porsinya dalam anggaran belanja negara. Dana bagi pembangunan desa juga sesungguhnya bertitik berat dari anggaran pemerintah daerah.
Sejumlah daerah, katanya, telah memiliki Alokasi Dana Desa (ADD) yang besarannya rerata mencapai 30 persen dari APBD. Karena itu, Uchok mengusulkan, kucuran dana bagi pembangunan desa dimasukkan dalam kantong pemerintah daerah. Artinya, dewan tidak perlu membuat RUU Desa. Dewan cukup merevisi UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.