REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA--Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyatakan, tidak semua undang-undang bisa ditaati, apalagi yang materinya tidak bersumber dari fenomena sosial di masyarakat."Pasal-pasal dalam undang-undang itu seharusnya gambaran atas fakta sosial. Kalau undang-undang yang pasal-pasalnya tidak mencerminkan fakta sosial, tidak perlu diikuti," katanya di aula Rektorat Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Senin.
Ia mencontohkan Undang Undang Bank Indonesia (BI), sebagai produk hukum bermasalah yang berakhir dengan penahanan mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah."Ternyata dalam proses pengesahan Undang Undang BI itu terungkap adanya suap kepada anggota DPR senilai Rp100 miliar. Burhanuddin Abdullah tidak bisa apa-apa," kata mantan anggota Komisi III DPR itu.
Ia kemudian menceritakan pengalamannya beberapa saat setelah dilantik sebagai anggota DPR pada bulan Oktober 2004."Ada seorang mantan anggota DPR waktu itu bicara kepada saya, untuk menginventarisasi masalah sebagai proses awal pembahasan draf undang-undang, setiap anggota DPR mendapatkan uang Rp50 juta," katanya saat berbicara dalam kuliah umum tentang Prospek Keindonesiaan dalam Perspektif Penegakan Hukum itu.
Demikian pula, Mahfud mengungkapkan, undang-undang selalu lemah ketika menghadapi orang kuat. "Lihat saja Gayus (Tambunan) yang ditangkap bulan lalu, sampai sekarang belum ada pasal-pasal yang dituduhkannya. Berbeda dengan pelaku kejahatan biasa, pagi melakukan kejahatan, sorenya ditangkap, pasal-pasalnya sudah ada. Sama halnya dengan Susno (Duadji), begitu ditangkap, langsung dijerat dengan pasal-pasal," katanya.
Oleh sebab itu, menurut dia, hukum seharusnya tidak terpenjara oleh kalimat-kalimat dalam undang-undang, melainkan hidup dalam urat-urat kehidupan yang tumbuh di masyarakat.
Mantan Menteri Pertahanan itu menambahkan, undang-undang merupakan produk manusia, hendaknya memberikan kenyamanan dan keadilan bagi masyarakat. "Di Indonesia banyak aturan yang dibuat berdasar pesanan sehingga menguntungkan segelintir elite tertentu. Aturan seperti itu tak layak dipertahankan dan dicabut saja, dan diganti dengan aturan baru yang mampu mengakomodasi hajat hidup orang banyak," katanya.
Ia mengingatkan, pemerintah harus menangkap gejala di masyarakat yang mulai tak percaya lagi akan keberadaan tiga institusi hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, selain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Jika kebenaran sudah terpojok dan masyarakat muak melihat aparat main-main dalam penegakan hukum, maka akan muncul gejolak dari masyarakat tingkat bawah. Hal itu harus diperhatikan pemerintah agar tak terjadi kerusuhan," katanya.