Jumat 27 Jan 2023 06:18 WIB

CSIS: Ada Eskalasi Konflik di Papua

CSIS mendorong Pemerintah mencari solusi komprehensif atas permasalahan di Papua.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
Kantor Gubernur Papua. Menurut studi CSIS, saat ini ada eskalasi konflik di Bumi Cendrawasih. (ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Gusti Tanati
Kantor Gubernur Papua. Menurut studi CSIS, saat ini ada eskalasi konflik di Bumi Cendrawasih. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center for Strategic and International Studies (CSIS) membaca menguatnya intensitas konflik hingga jatuhnya korban jiwa di Papua. CSIS mendorong Pemerintah mencari solusi komprehensif atas permasalahan di Bumi Cendrawasih. 

Hal tersebut dikatakan Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri dalam Seminar pemaparan studi CSIS bertajuk "Kompleksitas Perlindungan Warga Sipil dalam Konflik Separatis dan Agama di Indonesia" pada Kamis (26/1/2023). 

Baca Juga

"Ada eskalasi konflik di Papua di mana ada peningkatan signifikan baik dari intensitas maupun jumlah korban dari kalangan sipil terus berjatuhan," kata Yose dalam sambutannya. 

Hal itu mendasari CSIS melakukan studi kekerasan kolektif pada 2022. CSIS mengakui meski angkanya turun tapi pengaruhnya justru signifikan. 

"Contoh konflik separatis di Papua akibatkan lebih dari 760 korban jiwa selama 5 tahun belakangan," lanjut Yose. 

Yose menegaskan konflik separatis Papua masih menjadi hal yang penting untuk terus diamati sekaligus dicarikan jalan keluarnya bersama-sama. 

"Bisa dilihat apa yang dilakukan pemerintah sekarang ini mungkin belum bisa benar-benar berikan mekanisme penyelesaian yang dapat diandalkan untuk atasi kompleksitas masalah di Papua," ujar Yose. 

Yose juga menyebut masih banyak permasalahan yang bisa diperbaiki dalam melindungi warga sipil di konflik Papua. Salah satunya, CSIS menemukan warga sipil memandang militer, polisi, dan separatis sebagai bagian dari konflik yang terjadi. 

"Sebagai implikasi ini berikan trauma bagi banyak orang asli Papua, baik secara pribadi dan kolektif. Hal ini tentunya menghalangi, memberikan beban untuk penyelesaian komprehensif," tegas Yose. 

Sementara itu, Peneliti Senior Politik dan Perubahan Sosial CSIS Vidhyandika Djati Perkasa merinci eskalasi konflik Papua yang ditemukannya pada 2015 di angka 11. Jumlah ini trennya meningkat hingga mencapai puncak pada 2021 (139 konflik). Lalu eskalasinya menurun sampai 2022 (105). 

Sedangkan data kematian akibat konflik di Papua pada 2015 di angkat 16. Jumlahnya berfluktuatif setiap tahun, dan mencapai angka tertinggi pada 2022 (228 kematian). 

"Keluhan di Papua itu betapa nyawa nggak berharga gampang orang meninggal dan dilupakan begitu saja," ujar Vidhyandika. 

Vidhyandika menjelaskan penelitian ini menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif. Penelitian ini turut menyertakan wawancara mendalam dengan tokoh Papua, aparat keamanan, Kompolnas. Penelitian ini, lanjutnya, merupakan bentuk pemotretan awal terhadap fenomena yang terjadi. 

"Konflik di Papua abaikan hak sipil. Orang di Papua lihat sipil kalau terluka dan meninggal itu sekedar resiko hidup di tempat konflik," ungkap Vidhyandika. 

Adapun Kepala Komnas HAM Papua Frits Bernard Ramandey turut memberi respons atas studi CSIS. Frits memandang konflik di Papua tak bisa dilepaskan dari cawe-cawenya Pemerintah Pusat. Ia menyayangkan keterlibatan Pemerintah Pusat yang begitu dalam atas urusan di Papua. 

"Ada dominasi pemerintah pusat dalam mereduksi kewenangan otonomi khusus, misal soal evaluasi UU Otsus, pola operasi (keamanan) sampai proses pemekaran. Ini kemudian timbulkan perlawanan," tegas Frits. 

Frits juga mengkritisi terlalu banyaknya Satgas yang ditempatkan oleh Polri maupun TNI di Papua. Menurutnya, hal tersebut justru menimbulkan permasalahan, salah satunya dugaan pelanggaran HAM. Sepanjang 2021, Komnas HAM Papua memeriksa puluhan anggota TNI yang terlibat kasus kekerasan. 

"Di 2022, kekerasan terhadap anak-anak dilakukan TNI, ini sangat bahaya karena timbulkan dendam dan perlawanan di kemudian hari yang lebih kuat," ucap Frits.

Diketahui, kasus teranyar di Papua ialah penyerangan terhadap tukang ojek yang terjadi di Jembatan Ilame, Jalan Gome, Kampung Wako, Distrik Gome, Kabupaten Puncak yang dilakukan oleh Orang Tak Kenal (OTK) menggunakan senjata api menurut aparat kepolisian. Serangan itu membuat Damri mengakhiri hidup di usia 57 tahun. 

Kejadian nahas yang menimpa Damri terjadi saat dirinya usai melaksanakan makan siang dan hendak mencari penumpang di seputaran Distrik Ilaga-Gome, Kabupaten Puncak Papua. 

 

 

photo
Ilustrasi Anak Sekolah di Papua - (republika/mgrol100)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement