Jumat 17 Oct 2025 16:50 WIB

Kasus Program Xpose Uncensored Trans7: Pakar UMJ Soroti Penerapan P3SPS

Eskalasi kasus ini sudah dianggap nasional dan besar.

Massa dari Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta dan sejumlah alumni pondok pesantren saat Aksi Bela Ulama dan Pesantren di depan gedung Transmedia, Jakarta, Rabu (15/10/2025). Dalam aksinya mereka menuntut pihak Trans7 untuk bertanggung jawab atas tayangan program Xpose Uncensored pada tanggal 13 Oktober di stasiun televisi Trans7 yang dianggap melecehkan tradisi pondok pesantren, santri, dan para kiai.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Massa dari Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta dan sejumlah alumni pondok pesantren saat Aksi Bela Ulama dan Pesantren di depan gedung Transmedia, Jakarta, Rabu (15/10/2025). Dalam aksinya mereka menuntut pihak Trans7 untuk bertanggung jawab atas tayangan program Xpose Uncensored pada tanggal 13 Oktober di stasiun televisi Trans7 yang dianggap melecehkan tradisi pondok pesantren, santri, dan para kiai.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam dunia penyiaran, tanggung jawab dan integritas menjadi fondasi utama yang menentukan kredibilitas sebuah lembaga penyiaran.

Baru-baru ini, perhatian publik tertuju pada tayangan program Xpose Uncensored di stasiun televisi Trans7 pada 13 Oktober 2025. Program tersebut menuai kritik karena dinilai menampilkan narasi yang tidak pantas dan berpotensi menyesatkan.

photo
(dok pribadi)

Mengenai hal tersebut, Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FISIP UMJ), Amin Shabana, S.Sos., M.Si, yang juga Komisioner Bidang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, menegaskan pentingnya penerapan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) secara konsisten di seluruh lembaga penyiaran.

Apa Itu P3SPS?

Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) merupakan seperangkat aturan yang ditetapkan oleh KPI untuk memastikan setiap program siaran televisi dan radio mematuhi nilai etika, moral, serta kepentingan publik.

Pedoman ini menjadi rambu utama bagi lembaga penyiaran agar isi siaran tidak bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, dan hukum yang berlaku.

KPI juga telah menetapkan lima klarisifikasi usia penonton untuk memastikan tayangan sesuai dengan tingkat kedewasaan khalayak, yaitu pra anak (usia 2-6 tahun), anak (usia 7-12 tahun), remaja (usia 13-17 tahun), dewasa (usia 18 tahun ke atas), dan semua umur.

Amin menegaskan, lingkup penyiaran di Indonesia harus memiliki lima fungsi utama, yaitu informasi, pendidikan, hiburan, integrasi nasional, dan pemajuan kebudayaan nasional. Karena itu, setiap lembaga penyiaran harus memahami bahwa konten yang mereka produksi bukan sekadar hiburan, tetapi juga memiliki dimensi edukatif dan sosial.

“Pedoman perilaku penyiaran itu dikhususkan untuk lembaga penyiarannya, sementara standar program siaran itu dimaksudkan untuk isi siarannya. Maka, kami akan memberlakukan konsekuensi bagi lembaga penyiaran yang dianggap melanggar ketentuan yang ada di P3SPS,” ujarnya, Jumat (17/10/2025).

Pelanggaran P3SPS dalam Program Xpose Uncensored Trans7

Program Xpose Uncensored milik Trans7 dinilai melanggar sejumlah ketentuan dalam P3SPS, khususnya pasal 6 Peraturan Perilaku Penyiaran (P3) KPI 2012, pasal 6 ayat 1 dan 2, pasal 16 ayat 1 dan ayat 2 huruf (a) Standar Program Siaran (SPS) KPI 2012.

Tayangan tersebut menampilkan narasi yang dianggap menyudutkan lembaga pendidikan keagamaan (pesantren) dan tokoh-tokoh agama, sehingga menimbulkan reaksi keras dari masyarakat.

Pasal 6 P3 menyatakan, lembaga penyiaran wajib menghormati nilai dan perbedaan suku, agama, ras, dan antar-golongan, serta tidak menyiarkan konten yang mengandung penghinaan terhadap lembaga tertentu.

Sementara itu, Pasal 16 SPS secara tegas melarang lembaga penyiaran menayangkan program yang melecehkan atau merendahkan lembaga pendidikan, terutama yang berbasis keagamaan.

Amin menilai, penayangan program Xpose Uncensored tidak hanya melanggar norma kesopanan dan nilai-nilai keagamaan, tetapi juga berpotensi menimbulkan kesalahpahaman publik terhadap lembaga pendidikan berbasis pesantren.

Dalam hal ini, lembaga penyiaran dinilai telah gagal menjalankan fungsi yang semestinya dilakukan oleh tim quality control (QC) sebelum tayangan disiarkan kepada khalayak.

Ia menambahkan, KPI memiliki mekanisme berlapis dalam memantau dan menindak setiap pelanggaran siaran di televisi maupun radio dari proses penayangan serta pasca tayang.

“Kami di KPI Pusat punya tim pemantau isi siaran yang bekerja 24 jam penuh. Dari situ kami bisa menemukan indikasi pelanggaran dan membawanya ke tim penjatuhan sanksi. Semua hasilnya kemudian dibahas di rapat pleno sembilan komisioner untuk diputuskan apakah dijatuhi sanksi atau tidak,” ungkapnya.

Menurutnya, sanksi terhadap lembaga penyiaran dapat beragam, mulai dari teguran tertulis, penghentian sementara program siaran, denda administratif, hingga pencabutan izin penyiaran, tergantung pada tingkat pelanggaran yang dilakukan.

Ia menegaskan bahwa KPI tidak memiliki kepentingan komersial dalam menjatuhkan sanksi, sebab semua denda yang dijatuhkan akan disetorkan langsung ke kas negara, bukan ke KPI itu sendiri.

Dalam kasus ini, program Xpose Uncensored dari Trans7 mendapatkan sanksi administratif berupa penghentian sementara penayangan dari KPI Pusat. Sanksi tersebut dijatuhkan setelah melalui proses klarifikasi dan rapat pleno antar komisioner KPI yang mempertimbangkan hasil pemantauan serta laporan masyarakat.

“Eskalasi kasus ini sudah dianggap nasional dan besar. Maka tidak melalui tahapan surat peringatan 1 ataupun 2, melainkan kami langsung memanggil lembaga penyiarannya,” ujarnya.

Amin menjelaskan bahwa keputusan tersebut bukan semata bentuk hukuman, melainkan langkah pembinaan agar lembaga penyiaran lebih berhati-hati dalam menayangkan konten yang sensitif. Menurutnya, kebebasan berekspresi di dunia penyiaran memang dilindungi undang-undang, tetapi tetap memiliki batasan.

Ketelitian dan Verifikasi dalam Produksi Konten

Selain soal pelanggaran penerapan P3SPS, Amin juga menyoroti adanya kesalahpahaman publik terkait klasifikasi program Xpose Uncensored. Menurutnya, banyak masyarakat yang keliru dalam memahami jenis tayangan tersebut.

“Ini juga yang banyak disalahpahami masyarakat. Mereka menganggap tayangan itu adalah konten jurnalistik, padahal lembaga penyiarannya sendiri menyebutnya sebagai program infotainment. Namun, baik itu program berita maupun non-berita, semua tetap wajib mematuhi ketentuan dalam P3SPS,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa kategori program tidak bisa dijadikan alasan untuk mengabaikan prinsip kehati-hatian. Baik program hiburan, dokumenter, maupun berita, semuanya harus tunduk pada pedoman penyiaran yang berlaku agar tidak menimbulkan dampak negatif di masyarakat.

Lebih lanjut, Amin menjelaskan, kasus ini menjadi pembelajaran penting bagi seluruh lembaga penyiaran agar lebih berhati-hati dalam memproduksi konten, terutama yang menyangkut lembaga pendidikan, isu keagamaan, dan tokoh masyarakat.

Menurutnya, P3SPS telah memberikan panduan yang jelas agar lembaga penyiaran dapat menghadirkan ahli pakar saat membahas isu-isu sensitif, guna memastikan akurasi, verifikasi, dan klarifikasi informasi sebelum disiarkan.

Selain itu, Amin juga mencontohkan, prinsip kehati-hatian ini seharusnya diterapkan tidak hanya pada isu agama, tetapi juga pada isu-isu lain seperti kesehatan dan sosial. Misalnya, dalam membahas pengobatan herbal, lembaga penyiaran perlu menghadirkan pakar kesehatan agar informasi yang diterima masyarakat benar dan tidak menyesatkan.

Dengan demikian, penerapan P3SPS bukan sekadar formalitas hukum, melainkan panduan etis yang membantu lembaga penyiaran menjaga kepercayaan publik. Ketika proses produksi dilakukan dengan verifikasi dan tanggung jawab moral yang tinggi, maka siaran yang dihasilkan tidak hanya informatif, tetapi juga mendidik dan berintegritas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement