REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO – Serangan Israel terhadap para petinggi Hamas di Doha, Qatar, menimbulkan gelombang kejut di regional. Ide soal pembentukan pasukan terpadu guna menghadapi agresi Israel kembali menyeruak.
Mesir dilaporkan sedang berusaha untuk menghidupkan kembali kekuatan militer gabungan Arab yang meniru NATO, menurut beberapa laporan berbahasa Arab pada hari Sabtu yang menghubungkan langkah tersebut dengan perang Israel-Hamas dan dengan pertemuan puncak Arab-Islam yang diperkirakan akan diadakan di Doha pada hari Senin.
Sumber tersebut termasuk surat kabar pro-Hizbullah Al-Akhbar Lebanon, yang mengutip sumber pemerintah di Kairo. Al-Quds Al-Arabi yang berbasis di London melaporkan bahwa Presiden Abdel Fattah al-Sisi sedang berupaya untuk membangun kembali dukungan Arab terhadap kekuatan reaksi cepat yang dapat dikerahkan untuk melindungi negara Arab mana pun yang diserang.
Media itu melaporkan bahwa usulan tersebut telah diajukan dalam kontak diplomatik baru-baru ini menjelang pertemuan puncak. Media tersebut membingkai gagasan tersebut sebagai payung pertahanan dan bukan sebagai upaya untuk melakukan eskalasi dengan Israel.
Media Palestina, Ma’an, memuat rincian serupa dan mengatakan bahwa Kairo sedang mendiskusikan kontribusi sekitar 20.000 tentara Mesir dan berusaha untuk menempatkan perwira bintang empat Mesir sebagai komando, dengan Arab Saudi sebagai mitra utama jika rencana tersebut berhasil. Ma'an menilai diskusi tersebut sedang berlangsung.
Diskusi terfokus pada bagaimana badan tersebut akan beroperasi, dan Kairo menekankan bahwa badan tersebut harus dibentuk sesuai dengan demografi dan kapasitas militer negara-negara Arab yang berpartisipasi.

Sumber yang dikutip oleh Al-Akhbar menekankan bahwa pertimbangan regional dan politik juga akan berperan, mengingat kemungkinan keterlibatan pasukan dari Maroko dan Aljazair.
“Mekanisme tersebut harus memungkinkan kekuatan untuk dikerahkan ketika diperlukan, dan harus dibentuk dengan cara yang mencerminkan komposisi negara-negara Arab dan tentara mereka, sambil menyeimbangkan politik regional,” kata pejabat tersebut.
Hal lain dalam negosiasi adalah bagaimana tanggung jawab komando akan dibagi. Sumber tersebut mengatakan Mesir bermaksud untuk memegang posisi komando tertinggi, sedangkan posisi kedua akan diambil alih oleh Arab Saudi atau negara Teluk lainnya. Hal ini mencerminkan upaya Kairo untuk mendapatkan peran utama dalam setiap pengaturan pertahanan kolektif sambil memberikan tempat yang menonjol kepada kerajaan-kerajaan Teluk.