REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dulu, saat sekolah pagi tiba, suasana kelas langsung berubah. Suara langkah kaki pendek diperjelas oleh detik jam dinding yang terus berdetak, dan pintu kelas berderit tanda sang guru sudah hadir.
Di balik kembaran jas hitam, kacamata bundar, dan pena yang selalu menempel di saku, ada sosok yang dianggap tak tergoyahkan: guru.
Mereka bukan hanya pengajar, tapi wakil tuhan di lingkungan sekolah. Siswa tak berani bergerak, tak berani bicara, bahkan tak berani mengangkat tangan kecuali dipanggil. Kalau salah menulis, hukuman menanti.
Tidak karena salah, tapi karena belum taat. Ilmu disampaikan seperti hukum, tidak perlu dipertanyakan, hanya perlu dihafal.
Kini, guru masih ada, tapi sudah tak seperti dulu. Mereka datang dengan baju kerja yang lebih santai, seringkali memakai laptop terbuka, bahkan membawa tablet atau tablet tampilan layar untuk memperkenalkan materi.
Suasana kelas lebih hangat, lebih fleksibel. Ada tawa, ada interaksi, ada ruang untuk beritanya bahkan untuk salah. Guru bukan lagi "dewa", tapi "teman".
Mereka justru belajar dari siswanya, bukan hanya soal materi, tapi juga soal digital, kesehatan mental, bahkan soal bagaimana berekspresi di media sosial. Mereka tak lagi sekadar menyampaikan informasi, tapi mendampingi siswa menemukan jawabannya sendiri.
Yang paling menarik? Guru zaman sekarang bisa jadi bagian dari hidup siswa di luar kelas. Mereka aktif di grup WhatsApp, komentar di foto postingan siswa, bahkan merekomendasikan podcast atau buku yang bisa membuat anak tertawa atau berpikir dalam.
Mereka bukan satu-satunya sumber ilmu lagi justru mereka jadi pemandu dalam lautan informasi yang tak berujung.
Tantangannya bukan soal tahu apa, tapi soal bagaimana mengajak siswa berpikir. Karena dunia berubah cepat, guru yang paling efektif bukan yang paling tahu, tapi yang paling mampu berkembang bersama para murid.
1.Cara Mengajar
Dulu, mengajar itu seperti menyalin dari buku ke buku. Guru bercerita, siswa menulis. Tidak ada interaksi, hanya perintah: “Tulis semua, sekarang.” Fokusnya pada hafalan: rumus, kalimat, sejarah. Tujuan: lulus dengan nilai tinggi. Tidak penting apakah benar-benar memahami, selama bisa menuliskannya dengan tepat.
Sekarang, pengajaran jauh lebih dinamis. Guru menggunakan pendekatan berbasis proyek (PBL), belajar kolaboratif, dan pembelajaran aktif.
Siswa diminta menyelesaikan masalah nyata, seperti membuat desain sampah daur ulang, atau menyusun presentasi tentang lingkungan. Guru bukan lagi satu-satunya sumber, tapi fasilitator mereka membantu siswa menemukan jalan, bukan memberi jalan.
2.Interaksi Guru dan Siswa
Zaman dulu, hubungan guru-siswa kaku dan formal. Ada jarak emosional. Siswa tak berani bicara, guru tak peduli terlalu jauh soal kondisi pribadi. Tidak ada ruang untuk emosi, hanya disiplin.
Hari ini, interaksi lebih personal. Guru tidak hanya menilai nilai, tapi juga memperhatikan kondisi mental siswa.
Mereka menyapa di depan kelas, mempertimbangkan perbedaan kecerdasan, bahkan mengerti bahwa anak dari keluarga kurang mampu butuh dukungan ekstra. Mereka membaca tanda-tanda stres di wajah siswa dan bertanya: “Kamu baik-baik saja?” Bukan soal kehadiran, tapi soal kesejahteraan.
3.Pemberian Tugas
Dulu, tugas hanya berupa menulis bab kecil dari buku pelajaran, lalu dikumpulkan. Seringkali tanpa bimbingan. Bisa jadi tugas berulang dan membosankan. Sekarang? Tugas lebih bervariasi dan relevan.
Ada video pendek, podcast, infografis, bahkan desain aplikasi sederhana. Guru mungkin memberi tugas: “Buatkan video pendek 2 menit tentang pentingnya air bersih di lingkungan kamu.” Tugas berbasis keterampilan, bukan sekadar hafalan.
4.Penggunaan Teknologi dalam Pendidikan
Zaman dulu: papan tulis, kapur. Sekarang: smartboard, proyektor, tablet, AI. Teknologi bukan penghambat, tapi pendukung pembelajaran. Guru kini bisa menggunakan aplikasi edukasi seperti Edmodo, Google Classroom, atau BahasaAI untuk menilai esai dengan cepat.
Bahasa AI bahkan bisa membantu siswa menyusun paragraf, atau memberi umpan balik pada tugas bahasa. Teknologi bukan menggantikan guru, tapi membebaskan guru dari tugas rutin, sehingga mereka bisa fokus pada pengajaran yang lebih mendalam.
5.Metode Pembelajaran Berbasis Keterampilan
Pendidikan abad ke-21 bukan lagi soal apa yang diketahui, tapi bagaimana berpikir. Guru sekarang lebih fokus pada keterampilan: berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi.
Siswa diajak berdebat, menulis opini, membuat presentasi. Guru tak lagi hanya menilai jawaban benar/salah, tapi menilai proses berpikir. “Bagaimana kamu sampai ke sana?” itu pertanyaan penting.
6.Transformasi Pembelajaran
Dulu, sekolah adalah rumah dari ilmu yang kaku. Sekarang, sekolah adalah ruang untuk berekspresi, berkolaborasi, dan menjadi diri sendiri. Guru bukan lagi otoritas, tapi pendamping. Mereka mengajak siswa untuk terus bertanya, mengeksplorasi, dan tidak takut salah.
Tantangan besar bukan soal teknologi, tapi soal hati: apakah guru mau berubah? Apakah mereka mampu menyapa siswa dengan empati, bukan hanya tugas? Kalau dulu guru adalah penjaga batas ilmu, kini perlu menjadi jembatan menuju dunia yang tidak terbatas.
Kesimpulan
Guru zaman dulu dan sekarang tidak saling bertentangan. Mereka adalah dua generasi dari satu misi yang sama: melejitkan potensi manusia. Yang berubah bukan guru tapi dunia di sekitar mereka.
Dan yang paling membanggakan? Guru sekarang lebih manusiawi, lebih dekat, dan lebih punya hati. Mereka bukan lagi penghafal, tapi pembawa cahaya: bukan untuk menyalin, tapi untuk menyalakan.
Gabung dan Jadi Bagian dari Generasi Guru Era Sekarang dengan Digital PGRI!
Guru saat ini bukan hanya mengajar di dalam kelas, tapi juga membangun masa depan yang lebih cerah. Melalui platform digital resmi dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) ini, para tenaga pendidik dapat dengan mudah terhubung, terdaftar, dan berkembang bersama komunitas guru terbesar di Indonesia.
Dengan Digital PGRI, proses untuk menjadi anggota berlangsung lebih mudah, cepat, dan transparan. Anda bisa mengecek status keanggotaan secara online dalam hitungan detik, mendaftar sebagai guru baru tanpa harus datang ke kantor atau repot dengan berkas fisik.
Selain itu, platform ini menyediakan akses layanan digital terpadu mulai dari pelatihan, sertifikasi, hingga konsultasi keprofesian secara daring.