Rabu 30 Jul 2025 07:29 WIB

Bakal Akui Palestina, Begini 'Dosa' Inggris Dirikan Israel

Ide pembentukan negara Zionis di Palestina sudah muncul di Inggris sejak abad ke-17.

Rep: Fitriyan Zamzami/ Red: Fitriyan Zamzami
Warga Palestina yang terusir setelah pembentukan entitas Zionis Israel pada 1948.
Foto: AP Photo/Jim Pringle, File
Warga Palestina yang terusir setelah pembentukan entitas Zionis Israel pada 1948.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON – Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menyatakan negaranya akan mengakui negara Palestina bila Israel tak segera menyetop penderitaan di Jalur Gaza. Ancaman ini menyoroti kembali peran krusial Inggris dalam pembentukan negara Zionis di Palestina.

Akar Zionisme saat ini tak lepas dari kebangkitan kelompok Kristen Puritan di Inggris pada abad ke-17. Kelompok ini meyakini pembacaan literal Injil, salah satunya soal tafsir perlunya kepulangan umat Yahudi ke Yerusalem untuk memicu kedatangan kedua Yesus Kristus.

Baca Juga

Keyakinan kelompok Kristen di Inggris ini jauh mendahului ide serupa di kalangan Yahudi sendiri. Dalam keyakinan umat Yahudi saat itu, sekuensinya terbalik. Justru mesias harus hadir lebih dulu baru mereka boleh pulang ke Yerusalem dan mendirikan entitas negara di sana. Ide Kristen Zionis ini perlahan kemudian diamini sekelompok Yahudi sekuler di Eropa.

Pada 1820 misalnya, pendeta Kristen Injili di Inggris Charles Simeon mengampanyekan bahwa “Israel yang tercerai-berai suatu hari nanti akan dikembalikan ke tanah mereka sendiri”. Sejauh 32 tahun sebelum Theodor Herzl menuliskan manifesto Zionismenya, Der Judenstaat, pendeta CH Spurgeon telah menulis bahwa Injil memerintahkan “pemulihan politik orang-orang Yahudi ke tanah air mereka sendiri dan ke dalam kewarganegaraan mereka sendiri.” 

Selepas kemenangan Inggris dan sekutu pada Perang Dunia I, mereka membagi-bagi wilayah Timur Tengah sekenanya. Pembagian ini berdasarkan perjanjian rahasia tahun 1916 antara Inggris dan Prancis, dengan persetujuan Rusia dan Italia. Perjanjian tersebut, yang dinamai menurut diplomat Inggris Sir Mark Sykes dan diplomat Prancis François Georges-Picot, merancang bagaimana wilayah Utsmaniyah di Timur Tengah akan dibagi setelah Perang Dunia I. Inggris mendapatkan mandat di wilayah Palestina merujuk perjanjian itu.

Inggris mulanya merayu komunitas setempat dengan janji kemerdekaan jika ikut melawan Turki Utsmani. Ini memicu munculnya kelompok-kelompok nasionalis Palestina yang memerjuangkan aspirasi pendirian tanah air mereka sendiri setelah lepas dari Turki Utsmani dan mandat Inggris.

photo
Deklarasi Balfour - (Wikimedia Commons)

Namun, pada 1917, keluar Deklarasi Balfour yang mengkhianati janji itu dengan menyatakan dukungan Inggris bagi pendirian negara Zionis Yahudi di Palestina. Deklarasi yang diteken Menlu Inggris Arthur Balfour, seorang Kristen Zionis, memicu gelombang migrasi Yahudi ke Palestina yang kemudian mendirikan komunitas-komunitas Yishuv, cikal bakal dari pemukiman ilegal Yahudi di Palestina.

Dengan meningkatnya migrasi Yahudi ke Palestina, ketegangan antara komunitas Yahudi dan Arab semakin meningkat. Inggris berusaha untuk menyeimbangkan kepentingan kedua pihak, namun seringkali kebijakan yang diambil dianggap lebih menguntungkan bagi orang Yahudi. 

Ini mengakibatkan serangkaian kekerasan dan pemberontakan, termasuk Pemberontakan Arab 1936-1939, yang menyebabkan Inggris sejenak mengubah kebijakan imigrasi. Pada masa-masa ini juga, Zionis Kristen dari Inggris seperti John Henry Patterson dan Orde Wingate memainkan peran penting dalam pembentukan dan pengembangan milisi Yahudi Haganah. Kelompok bersenjata itu yang kini menjadi IDF.

Selama pemberontakan Arab, Haganah secara aktif membantu Angkatan Darat Inggris, yang kemudian mendanai pasukan polisi Yahudi yang dikendalikan Haganah yang dikenal sebagai Notrim. Pemberangusan pemberontakan itu mengubah keseimbangan kekuatan di Palestina dan menguntungkan Yishuv Yahudi.

Perang Dunia II...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement