REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN – Amerika Serikat akhirnya menemani Israel melancarkan serangan terbuka ke wilayah Iran, Ahad (22/6/2025) menambah jejak berdarah-darahnya di negara tersebut. Tak jauh-jauh, sengketa bertahun-tahun AS dengan Iran dimulai dengan urusan minyak.
Sejarah keterlibatan AS di Iran salah satu titik mulanya adalah pendongkelan Perdana Menteri Iran Mohammad Mossadegh. Ia terpilih secara demokratis pada 1951 dan kemudian berencana menasionalisasi semua sumber daya alam Iran termasuk ladang-ladang minyak. Saat itu, sejak awal 1900-an, cadangan minyak Iran dikuasai Perusahaan Minyak Anglo-Iran dari Inggris.
Merujuk CNN, terkait rencana Mossadegh itu, CIA dari AS membantu M16 Inggris mendalangi kudeta terhadap Mossadegh pada 1953. AS dan Inggris kemudian menempatkan Mohammad Reza Pahlavi untuk memerintah sebagai shah Iran.
Pada 1957, AS menandatangani perjanjian kerja sama nuklir sipil dengan rezim Pahlevi. Perjanjian tersebut memberi Iran teknologi dan sumber daya yang pada akhirnya menjadi landasan bagi program nuklir kontroversialnya, yang mulai dikembangkan pada tahun 1970-an dengan dukungan dari AS.
Pada awal 1979, jutaan warga Iran turun ke jalan untuk memprotes rezim Shah, yang mereka anggap korup dan tidak sah. Pengunjuk rasa sekuler menentang otoritarianismenya, sementara pengunjuk rasa Islam menentang agenda modernisasinya. Selama berkuasa, Shah Pahlevi menerapkan kebijakan tangan besi dijalankan polisi rahsianya SAFAK yang mendapatkan pelatihan dari Mossad.

Pada 16 Januari, Shah meninggalkan negaranya. Pada tanggal 1 Februari, Ayatollah Khomeini, seorang ulama Islam yang ditangkap dan dideportasi oleh Shah pada 1964, kembali dari pengasingan dan menjadi pemimpin tertinggi Republik Islam.
Pada 1979 itu juga. mahasiswa Iran menyerbu kedutaan AS di Teheran dan menyandera puluhan orang Amerika. Mereka menuntut Shah, yang dirawat di AS untuk pengobatan kanker, diekstradisi ke Iran untuk diadili atas “kejahatan terhadap rakyat Iran.”
Setelah 444 hari, Iran membebaskan para sandera dengan imbalan pencairan aset negara – beberapa menit setelah Presiden Ronald Reagan dilantik. Selama krisis ini, AS memutuskan semua hubungan diplomatik dengan Iran. Hubungan diplomatik formal tidak pernah pulih. Shah meninggal pada Juli 1980 di Kairo.

Pertikaian antara kedua negara semakin buruk ketika pada 1980 AS mendukung Irak dalam invasi ke negara tetangga Iran, yang memicu perang regional selama delapan tahun. Sedangkan di bawah pemerintahan Reagan, pada 1984 AS menyatakan Republik Islam sebagai “negara sponsor terorisme.” Beberapa dekade kemudian, sebutan oleh AS ini masih berlaku.
Pada 1988, saat kapal-kapal Amerika dan Iran saling baku tembak di Teluk Persia, AS menembak jatuh Iran Air Penerbangan 655. Seluruh penumpang dan awak pesawat yang berjumlah 290 orang tewas. Meskipun AS mengatakan serangan itu adalah sebuah kecelakaan, Iran melihatnya sebagai tindakan yang disengaja.
Setelah serangan 9/11 pada 2001, Iran, menurut CNN, diam-diam membantu AS dalam perang melawan Taliban, musuh bersama kedua negara. Namun dalam pidato kenegaraannya, Presiden George Bush menyebut Iran, bersama dengan Irak dan Korea Utara, sebagai bagian dari “Poros Kejahatan.” Pidato tersebut memicu kemarahan di Iran.
Pada 2003, ketika AS menyuarakan kekhawatiran bahwa Iran sedang berupaya mengembangkan senjata nuklir, para pengawas dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengumumkan bahwa mereka telah menemukan jejak uranium yang diperkaya tinggi di pembangkit listrik tenaga nuklir di Iran.

Teheran setuju untuk menghentikan produksi uranium yang diperkaya dan mengizinkan inspeksi yang lebih ketat terhadap situs nuklirnya, namun hal ini hanya berumur pendek. Presiden Mahmoud Ahmadinejad berkuasa beberapa tahun kemudian dan memulai kembali produksi uranium yang diperkaya oleh Iran, yang memicu sanksi internasional selama bertahun-tahun terhadap negara tersebut.
Satu dekade melakukan negosiasi. AS di bawah Presiden Barack Obama, enam negara dan Teheran mencapai kesepakatan penting yang memperlambat program pengembangan nuklir Iran. Imbalannya pencabutan sejumlah sanksi yang menyebabkan perekonomian negara tersebut mandek. Ini merupakan terobosan besar bagi AS dan Iran, yang telah lama berselisih.
Seminggu setelah pelantikannya pada 2017, Presiden AS Donald Trump menandatangani perintah eksekutif yang melarang warga negara dari tujuh negara mayoritas Muslim, termasuk Iran, memasuki AS. Iran menyebut larangan tersebut sebagai “penghinaan nyata terhadap dunia Islam” dan menanggapinya dengan melakukan uji coba rudal balistik. Pemerintahan Trump ditandai peningkatan ketegangan yang tiba-tiba antara kedua negara, sehingga meningkatkan kekhawatiran tentang masa depan perjanjian nuklir Iran.
Pada 2018, Trump memenuhi janji kampanyenya dan mengumumkan bahwa ia menarik diri dari perjanjian nuklir Iran, yang menurutnya bersifat “sepihak.” Dia juga mengatakan akan menjatuhkan sanksi baru terhadap rezim tersebut. Pakar memperingatkan tindakan tersebut dapat menyebabkan Iran memulai kembali program atomnya dan memicu konflik lebih lanjut di Timur Tengah.
Pada 2019, Trump mengumumkan bahwa AS akan secara resmi menetapkan Korps Garda Revolusi Iran, institusi militer paling kuat di Teheran, sebagai organisasi teroris asing. Tindakan ini belum pernah terjadi sebelumnya, dan menandai pertama kalinya Amerika menetapkan bagian dari pemerintahan lain sebagai kelompok teror. Iran menanggapinya dengan menyatakan AS sebagai “negara sponsor terorisme.”
Ketegangan semakin meningkat pada 2019 setelah serangan terhadap kapal tanker minyak di Teluk Persia dan fasilitas minyak di Arab Saudi, serta jatuhnya pesawat tak berawak AS, yang oleh Washington dan sekutunya disalahkan pada Iran. Para pejabat Amerika berulang kali menekankan bahwa ancaman terhadap kebebasan navigasi di Teluk dan perdagangan minyak tidak dapat diterima, namun pemerintahan Trump tidak mengambil tindakan apa pun.
Tahun itu juga, setelah AS menjatuhkan beberapa sanksi terhadap Iran yang awalnya dicabut berdasarkan perjanjian nuklir Iran, Iran mengumumkan akan meningkatkan pengayaan uranium tingkat rendah. Hal ini melampaui batas persediaan yang disepakati pada 2015, dan membawa negara tersebut selangkah lebih dekat untuk mampu membuat bom nuklir.
Eskalasi melonjak ketika pada Desember 2019 Trump mengatakan dia memerintahkan serangan udara di Irak untuk membunuh jenderal tertinggi Iran, Qasem Soleimani – sebuah tindakan yang dianggap terlalu provokatif oleh presiden AS sebelumnya. Soleimani dibunuh seranagn drone AS pada Januari 2020. Ribuan orang membanjiri jalan-jalan Iran untuk berduka atas kematiannya.

Iran sangat marah dan bersumpah akan membalas, yang pada akhirnya menembakkan rudal ke pangkalan Irak yang menampung pasukan Amerika beberapa hari kemudian. Tidak ada korban jiwa, dan Trump menanggapinya dengan menjanjikan lebih banyak sanksi. Ketika ketegangan meningkat, Iran secara keliru menembak jatuh sebuah jet penumpang Ukraina, dan mengaitkannya dengan ketakutan akan agresi AS. Semua 176 orang di dalamnya tewas.
Presiden AS Joe Biden pada 2021 berupaya menghidupkan kembali perjanjian nuklir. Iran dan AS mengadakan pembicaraan tidak langsung di Wina. Pembicaraan terus berlanjut meskipun ada ledakan di fasilitas nuklir Natanz Iran. Iran menyalahkan ledakan tersebut pada Israel dan mengumumkan akan meningkatkan pengayaan uranium hingga kemurnian 60 persen.
Perundingan nuklir terhenti setelah ketua peradilan ultra-konservatif Ebrahim Raisi menjadi presiden baru Iran. Raisi menunjuk tim negosiasi baru yang bergaris keras. AS, Inggris, Perancis dan Jerman mengeluarkan pernyataan bersama yang mengatakan mereka “yakin bahwa ada kemungkinan untuk segera mencapai dan menerapkan kesepahaman mengenai kembalinya kepatuhan penuh” terhadap perjanjian nuklir Iran. Raisi wafat dalam kecelakaan helikopter pada tahun 2024.
Perundingan nuklir terhenti setelah Rusia melancarkan invasi besar-besaran ke Ukraina. Ketika perang berlanjut, Iran mulai membantu Rusia dengan menyediakan senjata kepada Moskow, termasuk drone Shahed.

Sepanjang 2022-2023 terjadi sejumlah protes massal selama berbulan-bulan terhadap rezim Iran. Dukungan pemerintahan Biden terhadap para pengunjuk rasa berkontribusi pada terhentinya perundingan nuklir.
Namun pada masa Biden, lima orang Amerika dibebaskan dari penahanan Iran sebagai bagian dari kesepakatan yang lebih luas yang mencakup pencairan dana Iran senilai 6 miliar dolar AS yang disimpan di Korea Selatan dan pembebasan lima warga Iran dari tahanan AS. Setelah pembebasan tersebut, AS menjatuhkan sanksi terhadap Kementerian Intelijen Iran dan mantan Presiden Mahmoud Ahmadinejad karena kurangnya informasi tentang warga Amerika lainnya, Bob Levinson, yang diyakini telah meninggal saat ditahan di Iran.
Pada 2023 Hamas dan sekutunya melancarkan serangan ke Israel selatan, menewaskan lebih dari 1.200 orang dan menyandera 251 orang. AS menilai bahwa meskipun Iran telah memberikan dukungan material kepada Hamas selama beberapa dekade, “para pemimpin Iran tidak merencanakan atau mengetahui sebelumnya” serangan tersebut.
Pada April 2024, Iran melancarkan serangan langsung ke Israel untuk pertama kalinya. Iran menembakkan ratusan rudal dan drone sebagai pembalasan serangan Israel terhadap kedutaan besarnya di Damaskus, Suriah, yang membunuh sejumlah komandan Iran. AS dan sekutu lainnya membantu Israel mempertahankan diri dari serangan tersebut, dengan menembak jatuh sebagian besar rudal. Hal ini terjadi setelah AS melakukan serangkaian serangan udara terhadap milisi yang didukung Iran di Suriah dan Irak pada bulan Oktober dan November 2023, serta Februari 2024, sebagai pembalasan atas serangan mereka terhadap pasukan AS di Timur Tengah.
Pada Juli 2024, pihak berwenang AS memperoleh informasi intelijen dari sumber manusia mengenai rencana Iran mencoba membunuh Donald Trump, kata beberapa sumber kepada CNN. Pemerintah AS telah berulang kali memperingatkan bahwa Iran mungkin mencoba membalas serangan pesawat tak berawak AS pada 2019 yang menewaskan Jenderal Qasem Soleimani, dengan mencoba membunuh Trump, yang memerintahkan serangan tersebut.
Trump kembali menjabat pada Januari 2025, menerapkan kembali kampanye “tekanan maksimum” terhadap Iran. Pada Maret, ia mengirim surat kepada Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei yang mengusulkan negosiasi perjanjian nuklir baru. Dia memberi batas waktu dua bulan untuk mencapai kesepakatan.
Pada April 2025 AS dan Iran kemudian mengadakan pembicaraan tidak langsung di Oman. Ini merupakan pembicaraan pertama antara pemerintahan Trump dan Teheran. Perundingan tingkat tinggi putaran kedua antara delegasi AS dan Iran berlangsung di Roma, dengan Oman kembali bertindak sebagai mediator.
Kedua belah pihak mengungkapkan optimismenya setelah pertemuan puncak. Tiga putaran berikutnya akan menyusul, namun desakan Iran bahwa mereka mempunyai hak untuk memperkaya uranium masih menjadi kendala utama.

Baru Mei lalu, Trump mengatakan dia yakin pemerintahannya “sangat dekat dengan solusi” mengenai perjanjian nuklir Iran. Dia mengatakan dia secara pribadi memperingatkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk tidak mengganggu pembicaraan tersebut. Putaran pembicaraan berikutnya antara Iran dan AS dijadwalkan pada pertengahan Juni.
Namun tiba-tiba pada 13 Juni lalu Israel melancarkan serangan besar terhadap Iran. AS pada awalnya menjauhkan diri dari serangan tersebut, namun Trump dengan cepat mulai menyuarakan dukungannya terhadap Israel dan pada akhirnya ikut melakukan serangan pada 22 Juni 2025.